“Hoaaaaam!”
Aku berusaha menutup mulutku yang menguap dengan tangan kanan. Sekarang baru pukul 9 pagi, namun aku harus mati-matian melawan rasa kantuk yang tak tertahankan.
Semua ini terjadi setelah aku dipaksa untuk membaca lontar, naskah tradisional Bali yang terbuat dari daun tal, dan juga berisi ajaran kebajikan serta kearifan lokal warisan leluhur, semalam suntuk.
Kakekku dikenal sangat tegas dan kaku. Apalagi jika menyangkut urusan adat. Ia akan mendidik anak dan cucunya dengan keras agar bisa menguasai adat dengan baik dan benar. Jika tidak, ia akan terus memaksa kami untuk berlatih sampai benar-benar bisa.
Kemarin malam giliran aku yang menjadi bulan-bulanan. Aku tidak mampu membaca dan mengartikan seluruh isi lontar yang diberikan dengan benar, meskipun telah mencobanya seharian penuh.
Kakekku marah besar melihat cucunya yang begitu payah. Dengan sorot mata tajam, ia terus menyuruhku berlatih sampai lewat tengah malam. Akibatnya, aku pun hanya punya waktu tidur selama tiga jam, sebelum dibangunkan oleh guyuran air pada pukul setengah tujuh pagi oleh ibuku yang marah.
Aku kadang tak habis pikir dengan orang-orang macam kakakku itu. Maksudku, mempelajari lontar memang penting demi menjaga tradisi dan budaya kami tetap hidup. Namun apakah kita harus melakukannya begitu serius? Apalagi, aku tidak ingin menjadi budayawan atau sastrawan ketika besar nanti. Kemampuan membaca lontar tentu saja tidak diperlukan buat cari pekerjaan.
Anehnya lagi, pada satu kesempatan kakek pernah bilang bahwa dengan menguasai lontar kita akan mendapatkan keselamatan secara niskala. Terhindar dari bahaya tak kasat mata dan ancaman makhluk-makhluk halus.
Aku tak percaya di abad ke-21 ini, ketika manusia sudah bisa menjangkau luar angkasa dan memanfaatkan teknologi AI, masih ada orang yang percaya hal-hal tak masuk akal semacam itu.
Bukankah itu terdengar sia-sia? Untuk apa membuang waktu untuk sesuatu yang tidak pernah terbukti kebenarannya?
Ugh, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Mana mungkin aku membangkang kepada kakekku sendiri, yang sangat dihormati di keluarga besarku.
Yah, pada akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah mencoba untuk tidak ketiduran di tengah pelajaran hari ini.
*****
Grrrraaak…..grrrrrh!
Suara yang begitu kencang tiba-tiba memekakkan telingaku dan membuyarkan rasa kantukku. Aku yang terperanjat pun menoleh kesana kemari. Guncangan dahsyat telah melanda seisi kelas. Kursi, meja, dan lukisan bergetar tak karuan, sementara beberapa retakan mulai terlihat di tembok.
“Aaaaaaah!!” teriakku panik.
Aku mencoba bersembunyi di balik meja, takut jika sewaktu-waktu atap roboh dan menimpa kepalaku. Guncangan ini berlangsung cukup lama, kira-kira selama lima menit sebelum akhirnya benar-benar berhenti.
Setelah merasa aman, aku memberanikan diri keluar dari tempat persembunyian. Namun anehnya, kulihat murid yang lain masih duduk di bangku mereka masing-masing. Tak ada satupun yang berusaha menyelamatkan diri.
“Hei….” Karena penasaran, aku menyentuh tubuh salah satu teman yang duduk tepat di depanku.
Akan tetapi, ia sama sekali tak bergeming. Tubuhnya mematung dengan mata terbelalak dan posisi membuka lembar halaman. Bukan hanya temanku saja. Semua orang yang ada disana juga tak bergerak sedikit pun.
“A-apa yang terjadi?!” batinku kebingungan. Sekujur tubuhku langsung merasa merinding.
Bwooooo!
Saat aku masih berusaha mencerna situasi, sebuah awan hitam muncul di langit-langit kelas. Warnanya begitu pekat dan bergerak berputar-putar. Lama kelamaan, awan itu kian membesar dan mengeluarkan suara yang menyeramkan, disertai kilatan kecil.
Grooooooo!
Sejurus kemudian, sosok makhluk aneh keluar dari balik awan. Tubuhnya memanjang dan bersisik seperti ular namun dilengkapi puluhan kaki. Wujud kepalanya mirip sekali dengan manusia. Bola matanya berwarna merah dan mengeluarkan tatapan tajam nan mengerikan.
”M-makhluk apa itu?!” Aku berteriak dalam hati. Lagi-lagi ketakutan kembali menyergap diriku.
Makhluk itu turun ke bawah dan meliuk-liuk di antara barisan tempat duduk. Lidahnya sesekali menjulur keluar dan meneteskan air liur, apalagi setelah menatap para murid yang diam dan membisu.
Sluuurp! Tanpa disangka, ia langsung menjilati tubuh salah satu temanku. Bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali!
Saat itulah aku sadar, bahwa makhluk ini rupanya gemar memangsa manusia. Ia sengaja membuat para murid mematung tak sadarkan diri agar mereka tak berkutik saat akan disantap.
“Duh, bagaimana ini?!” pikirku. Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuhku. Sepertinya tak ada pilihan selain pura-pura tak bergerak. Aku tak mau diriku berakhir jadi makanan monster buas itu.
Tsyiiii!
“Sial. Kenapa harus sekarang sih?! batinku kembali menjerit.
Di tengah situasi yang berbahaya seperti ini, tanpa sengaja aku malah bersin. Memang tidak keras, karena aku berusaha menahannya mati-matian.
Namun monster itu tetap saja mendengarnya. Matanya langsung melirik ke arahku. Ya Tuhan. Sebentar lagi ia pasti datang menghampiriku, dan jika ia tahu ada murid yang masih bergerak, ia pasti akan langsung menghabisiku.
Tidak! Aku tak mau berakhir di dalam perut makhluk menjijikan itu!
Benar saja. Dengan tubuh meliuk-liuk, monster itu bergerak mendekatiku. Matanya yang licik seolah menunjukkan bahwa diriku adalah mangsa favoritnya, dan ia tahu bahwa aku mati-matian berusaha diam mematung agar tidak ketahuan.
Begitu berada tepat di depan mataku, tanpa pikir panjang makhluk itu menempelkan lidahnya ke wajahku.
Sluuurp…..sluurrp
“T..tidak. Tidak!” batinku meronta karena jijik.
Aku benar-benar tak tahan lagi melihatnya. Ingin rasanya memejamkan mata, namun aku tidak boleh bergerak sama sekali jika ingin selamat.
Sayangnya, usahaku ini tidak ada gunanya. Setelah puas membasahiku dengan air liurnya, ia tak bisa menahan diri lagi dan bersiap untuk memangsaku. Gigi taringnya yang tajam dan besar-besar terlihat jelas seiring mulutnya terbuka lebar, dan itu membuatku putus asa.
“Argggh!!”
*****
Satyam Niscaya Jayati!
Sebuah suara bernada tinggi tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Dalam sekejap mata, sebuah cahaya berwarna putih kebiruan melesat dan langsung menghantam monster di hadapanku. Ia sontak terlempar ke arah papan tulis dan menghancurkan tembok di belakangnya.
Brakkkk!
Tubuh monster itu tertimbun oleh puing-puing batu dan serpihan kayu. Namun tak butuh waktu lama baginya untuk bangkit. Kali ini, wajahnya liciknya berubah menjadi merah padam penuh kemarahan. Sorot matanya menatap tajam sosok yang berdiri tepat di sampingku.
Aku tahu persis siapa orang itu. Ia adalah Katon Adnyana, salah satu murid paling pintar di kelasku. Setiap semester, ia menjadi langganan juara kelas, dan nilai-nilainya selalu lebih tinggi dari angka 90.
Selain itu, kudengar Katon juga merupakan putra tokoh adat terkemuka yang memimpin sebuah perguruan tak jauh dari Besakih. Itulah kenapa ia sangat fasih dalam membaca lontar maupun merapal mantra berbahasa Kawi, dan sering diminta untuk mengisi acara budaya Bali di sekolah.
Namun, aku tidak menyangka mantra-mantra itu bisa menghasilkan kekuatan dahsyat.
Saat absen kelas pagi tadi, kudengar hari ini Katon izin tidak masuk sekolah. Kenapa ia ada disini sekarang? Lalu, mengapa ia mengenakan pakaian adat lengkap dengan udeng? Padahal hari ini bukan hari raya.
Saksata Karanda Kanaka Srana!
Katon mengangkat jari telunjuknya ke atas, lalu mengucapkan mantra. Cahaya berwarna keemasan muncul dari tangannya, dan melesat ke segala penjuru. Mengenai tubuhku dan teman-teman lainnya yang diam mematung.
Dalam sekejap, cahaya itu berubah menjadi tempurung transparan yang melindungi tubuh kami agar tidak terluka selama mereka bertarung. Benar-benar ajaib!
Dengan emosi menggebu-gebu, monster itu berusaha menerjang tubuh Katon menggunakan ayunan ekornya yang besar. Untungnya, anak itu berhasil menghindar dan melompat beberapa langkah ke belakang. Meski begitu, ekor itu tetap menghujam lantai hingga menciptakan retakan besar.
Kekuatan makhluk ini sungguh di luar nalar.
Sahasra Mushti Prabha!
Katon melompat secepat kilat seraya meninju tubuh lawan bertubi-tubi. Sinar yang terpancar dari kepalan tangannya membuat ia mampu melayangkan puluhan tinju dalam sekian detik saja. Saking cepatnya, sang monster tampak kewalahan hingga mundur perlahan. Akan tetapi, puluhan kakinya yang kekar dan cekatan masih bisa menghalau serangan.
Srakkkk!
Kepala makhluk itu mengayun ke bawah dan mematuk Katon hingga tubuhnya terpental jauh ke belakang.
“Hhhk!” Nafasku tercekat menyaksikan pemandangan itu.
Kupikir ia bakal menghantam tembok dan terkapar tak berdaya. Yang terjadi justru sebaliknya. Salah satu kakinya mampu berpijak di dinding, dan menjadi tumpuan sebelum kembali melesat ke depan.
Woooosh!
Bagaikan peluru yang merobek udara, Katon meluncur dengan begitu cepat, hingga gerak tubuhnya menciptakan hembusan angin yang dapat menerbangkan benda apapun di dekatnya.
Namun lawan tak kehilangan akal. Dengan ekornya, ia meraih meja wali kelas dan menjadikannya tameng untuk mengamankan diri.
Brakkk!
Ia melempar meja tepat di atas Katon untuk menghentikan lajunya. Tak sempat menghindar, anak itu terjerembab dan terguling mundur bersama serpihan kayu. Begitu keras hingga pakaiannya robek sebagian dan lengan penuh goresan.
Swuuuung!
Makhluk itu merayap ke arah Katon yang masih terkapar. Wajahnya terlihat sangat puas menyaksikan lawan sudah tak berdaya. Seketika kepalanya maju ke depan, bersiap mematuk anak itu dan memangsanya.
“Uhkkk!!”
Rupanya semua hanyalah tipuan. Begitu lidah monster menempel di wajahnya, mata Katon sontak terbuka lebar. Tangannya menarik leher makhluk itu dan mencekiknya sekuat tenaga.
Groaaa! Grooaaa!
Makhluk itu pun meronta-ronta karena kesakitan. Nafasnya mulai tak karuan dan terasa sesak. Tubuhnya menggeliat heboh, berusaha meloloskan diri. Katon tentu tak akan membiarkan dia lepas. Telapak tangan dan lengannya mengeluarkan sinar kebiruan, menandakan bahwa ia memakai kekuatan ajaibnya untuk menahan gerak si monster.
Setelah merasa kenyang bermain-main, Katon berdiri dan mengangkat tubuh makhluk itu begitu tinggi ke atas. Kemudian, membantingnya jauh ke depan kelas.
Bruuakkk!
Seperti mainan ular-ularan, makhluk itu tak berkutik ketika tubuhnya terbang di atas kepala kami, dan menghantam dinding hingga hancur berkeping-keping.
Kini ia terbaring lemah di bawah reruntuhan tembok. Matanya masih terbuka lebar dan terus mengeluarkan tatapan tajam. Namun ia sama sekali tak bisa bergerak, sekuat apapun dirinya mencoba.
Saat matanya melirik ke samping, Katon sudah berdiri gagah tepat di depan wajahnya. Anak itu pun meletakkan tangan kanan di atas kepala makhluk itu. Mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya, ia merapalkan mantra dengan begitu lantang.
Manunggal ing Dharma!
Cahaya yang keluar dari telapak tangan Katon segera membungkus monster itu hingga ikut memancarkan sinar berkilauan. Terlihat begitu indah, namun tampaknya sangat menyakitkan jika terkena tubuh.
Oaaaargh!
Monster itu meronta-ronta kesakitan. Matanya terbuka lebar dan merah menyala, sampai-sampai berderai air mata.
Akan tetapi, penderitaannya tak berlangsung lama, karena tubuh monster itu perlahan berubah menjadi partikel cahaya. Beberapa saat kemudian, ia pun menghilang dari pandangan.
Katon berdiri seraya menghela nafas panjang. Ia lega musuh berhasil ia kalahkan. Dengan santai, ia mengedipkan mata ke arahku, dan melangkah keluar dari ruang kelas.
Aku pun tertegun dibuatnya.
“Sepertinya .....aku harus lebih rajin lagi mempelajari lontar......”
