Byradian - Radian Wedagama
Terbaru
Loading...

Novel

[Novel][recentbylabel]

Cerpen

[Cerpen][recentbylabel]

Pojok Radian

[Pojok Radian][recentbylabel]

Info

[Info][recentbylabel]

Sabtu, 12 April 2025

Perang Besar di Ruang Kelas


“Hoaaaaam!”

Aku berusaha menutup mulutku yang menguap dengan tangan kanan. Sekarang baru pukul 9 pagi, namun aku harus mati-matian melawan rasa kantuk yang tak tertahankan. 

Semua ini terjadi setelah aku dipaksa untuk membaca lontar, naskah tradisional Bali yang terbuat dari daun tal, dan juga berisi ajaran kebajikan serta kearifan lokal warisan leluhur, semalam suntuk.

Kakekku dikenal sangat tegas dan kaku. Apalagi jika menyangkut urusan adat. Ia akan mendidik anak dan cucunya dengan keras agar bisa menguasai adat dengan baik dan benar. Jika tidak, ia akan terus memaksa kami untuk berlatih sampai benar-benar bisa. 

Kemarin malam giliran aku yang menjadi bulan-bulanan. Aku tidak mampu membaca dan mengartikan seluruh isi lontar yang diberikan dengan benar, meskipun telah mencobanya seharian penuh. 

Kakekku marah besar melihat cucunya yang begitu payah. Dengan sorot mata tajam, ia terus menyuruhku berlatih sampai lewat tengah malam. Akibatnya, aku pun hanya punya waktu tidur selama tiga jam, sebelum dibangunkan oleh guyuran air pada pukul setengah tujuh pagi oleh ibuku yang marah. 

Aku kadang tak habis pikir dengan orang-orang macam kakakku itu. Maksudku, mempelajari lontar memang penting demi menjaga tradisi dan budaya kami tetap hidup. Namun apakah kita harus melakukannya begitu serius? Apalagi, aku tidak ingin menjadi budayawan atau sastrawan ketika besar nanti. Kemampuan membaca lontar tentu saja tidak diperlukan buat cari pekerjaan. 

Anehnya lagi, pada satu kesempatan kakek pernah bilang bahwa dengan menguasai lontar kita akan mendapatkan keselamatan secara niskala. Terhindar dari bahaya tak kasat mata dan ancaman makhluk-makhluk halus. 

Aku tak percaya di abad ke-21 ini, ketika manusia sudah bisa menjangkau luar angkasa dan memanfaatkan teknologi AI, masih ada orang yang percaya hal-hal tak masuk akal semacam itu. 

Bukankah itu terdengar sia-sia? Untuk apa membuang waktu untuk sesuatu yang tidak pernah terbukti kebenarannya?

Ugh, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Mana mungkin aku membangkang kepada kakekku sendiri, yang sangat dihormati di keluarga besarku. 

Yah, pada akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah mencoba untuk tidak ketiduran di tengah pelajaran hari ini. 


*****

     Grrrraaak…..grrrrrh!

Suara yang begitu kencang tiba-tiba memekakkan telingaku dan membuyarkan rasa kantukku. Aku yang terperanjat pun menoleh kesana kemari. Guncangan dahsyat telah melanda seisi kelas. Kursi, meja, dan lukisan bergetar tak karuan, sementara beberapa retakan mulai terlihat di tembok. 

    “Aaaaaaah!!” teriakku panik. 

Aku mencoba bersembunyi di balik meja, takut jika sewaktu-waktu atap roboh dan menimpa kepalaku. Guncangan ini berlangsung cukup lama, kira-kira selama lima menit sebelum akhirnya benar-benar berhenti. 

Setelah merasa aman, aku memberanikan diri keluar dari tempat persembunyian. Namun anehnya, kulihat murid yang lain masih duduk di bangku mereka masing-masing. Tak ada satupun yang berusaha menyelamatkan diri. 

   “Hei….” Karena penasaran, aku menyentuh tubuh salah satu teman yang duduk tepat di depanku. 

Akan tetapi, ia sama sekali tak bergeming. Tubuhnya mematung dengan mata terbelalak dan posisi membuka lembar halaman. Bukan hanya temanku saja. Semua orang yang ada disana juga tak bergerak sedikit pun. 

  “A-apa yang terjadi?!” batinku kebingungan. Sekujur tubuhku langsung merasa merinding. 

    Bwooooo!

Saat aku masih berusaha mencerna situasi, sebuah awan hitam muncul di langit-langit kelas. Warnanya begitu pekat dan bergerak berputar-putar. Lama kelamaan, awan itu kian membesar dan mengeluarkan suara yang menyeramkan, disertai kilatan kecil. 

   Grooooooo!

Sejurus kemudian, sosok makhluk aneh keluar dari balik awan. Tubuhnya memanjang dan bersisik seperti ular namun dilengkapi puluhan kaki. Wujud kepalanya mirip sekali dengan manusia. Bola matanya berwarna merah dan mengeluarkan tatapan tajam nan mengerikan. 

  ”M-makhluk apa itu?!” Aku berteriak dalam hati. Lagi-lagi ketakutan kembali menyergap diriku. 

Makhluk itu turun ke bawah dan meliuk-liuk di antara barisan tempat duduk. Lidahnya sesekali menjulur keluar dan meneteskan air liur, apalagi setelah menatap para murid yang diam dan membisu. 

Sluuurp! Tanpa disangka, ia langsung menjilati tubuh salah satu temanku. Bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali! 

Saat itulah aku sadar, bahwa makhluk ini rupanya gemar memangsa manusia. Ia sengaja membuat para murid mematung tak sadarkan diri agar mereka tak berkutik saat akan disantap. 

  “Duh, bagaimana ini?!” pikirku. Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuhku. Sepertinya tak ada pilihan selain pura-pura tak bergerak. Aku tak mau diriku berakhir jadi makanan monster buas itu. 

  Tsyiiii!

 “Sial. Kenapa harus sekarang sih?! batinku kembali menjerit.

Di tengah situasi yang berbahaya seperti ini, tanpa sengaja aku malah bersin. Memang tidak keras, karena aku berusaha menahannya mati-matian. 

Namun monster itu tetap saja mendengarnya. Matanya langsung melirik ke arahku. Ya Tuhan. Sebentar lagi ia pasti datang menghampiriku, dan jika ia tahu ada murid yang masih bergerak, ia pasti akan langsung menghabisiku. 

Tidak! Aku tak mau berakhir di dalam perut makhluk menjijikan itu!

Benar saja. Dengan tubuh meliuk-liuk, monster itu bergerak mendekatiku. Matanya yang licik seolah menunjukkan bahwa diriku adalah mangsa favoritnya, dan ia tahu bahwa aku mati-matian berusaha diam mematung agar tidak ketahuan. 

Begitu berada tepat di depan mataku, tanpa pikir panjang makhluk itu menempelkan lidahnya ke wajahku. 

   Sluuurp…..sluurrp

  “T..tidak. Tidak!” batinku meronta karena jijik. 

Aku benar-benar tak tahan lagi melihatnya. Ingin rasanya memejamkan mata, namun aku tidak boleh bergerak sama sekali jika ingin selamat. 

Sayangnya, usahaku ini tidak ada gunanya. Setelah puas membasahiku dengan air liurnya, ia tak bisa menahan diri lagi dan bersiap untuk memangsaku. Gigi taringnya yang tajam dan besar-besar terlihat jelas seiring mulutnya terbuka lebar, dan itu membuatku putus asa. 

   “Argggh!!” 

*****

   Satyam Niscaya Jayati!

Sebuah suara bernada tinggi tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Dalam sekejap mata, sebuah cahaya berwarna putih kebiruan melesat dan langsung menghantam monster di hadapanku. Ia sontak terlempar ke arah papan tulis dan menghancurkan tembok di belakangnya. 

   Brakkkk!

Tubuh monster itu tertimbun oleh puing-puing batu dan serpihan kayu. Namun tak butuh waktu lama baginya untuk bangkit. Kali ini, wajahnya liciknya berubah menjadi merah padam penuh kemarahan. Sorot matanya menatap tajam sosok yang berdiri tepat di sampingku.

Aku tahu persis siapa orang itu. Ia adalah Katon Adnyana, salah satu murid paling pintar di kelasku. Setiap semester, ia menjadi langganan juara kelas, dan nilai-nilainya selalu lebih tinggi dari angka 90. 

Selain itu, kudengar Katon juga merupakan putra tokoh adat terkemuka yang memimpin sebuah perguruan tak jauh dari Besakih. Itulah kenapa ia sangat fasih dalam membaca lontar maupun merapal mantra berbahasa Kawi, dan sering diminta untuk mengisi acara budaya Bali di sekolah. 

Namun, aku tidak menyangka mantra-mantra itu bisa menghasilkan kekuatan dahsyat. 

Saat absen kelas pagi tadi, kudengar hari ini Katon izin tidak masuk sekolah. Kenapa ia ada disini sekarang? Lalu, mengapa ia mengenakan pakaian adat lengkap dengan udeng? Padahal hari ini bukan hari raya.

   Saksata Karanda Kanaka Srana!

Katon mengangkat jari telunjuknya ke atas, lalu mengucapkan mantra. Cahaya berwarna keemasan muncul dari tangannya, dan melesat ke segala penjuru. Mengenai tubuhku dan teman-teman lainnya yang diam mematung. 

Dalam sekejap, cahaya itu berubah menjadi tempurung transparan yang melindungi tubuh kami agar tidak terluka selama mereka bertarung. Benar-benar ajaib!

Dengan emosi menggebu-gebu, monster itu berusaha menerjang tubuh Katon menggunakan ayunan ekornya yang besar. Untungnya, anak itu berhasil menghindar dan melompat beberapa langkah ke belakang. Meski begitu, ekor itu tetap menghujam lantai hingga menciptakan retakan besar. 

Kekuatan makhluk ini sungguh di luar nalar. 

   Sahasra Mushti Prabha!

Katon melompat secepat kilat seraya meninju tubuh lawan bertubi-tubi. Sinar yang terpancar dari kepalan tangannya membuat ia mampu melayangkan puluhan tinju dalam sekian detik saja. Saking cepatnya, sang monster tampak kewalahan hingga mundur perlahan. Akan tetapi, puluhan kakinya yang kekar dan cekatan masih bisa menghalau serangan. 

   Srakkkk!

Kepala makhluk itu mengayun ke bawah dan mematuk Katon hingga tubuhnya terpental jauh ke belakang. 

   “Hhhk!” Nafasku tercekat menyaksikan pemandangan itu. 

Kupikir ia bakal menghantam tembok dan terkapar tak berdaya. Yang terjadi justru sebaliknya. Salah satu kakinya mampu berpijak di dinding, dan menjadi tumpuan sebelum kembali melesat ke depan. 

   Woooosh!

Bagaikan peluru yang merobek udara, Katon meluncur dengan begitu cepat, hingga gerak tubuhnya menciptakan hembusan angin yang dapat menerbangkan benda apapun di dekatnya.

Namun lawan tak kehilangan akal. Dengan ekornya, ia meraih meja wali kelas dan menjadikannya tameng untuk mengamankan diri. 

   Brakkk!

Ia melempar meja tepat di atas Katon untuk menghentikan lajunya. Tak sempat menghindar, anak itu terjerembab dan terguling mundur bersama serpihan kayu. Begitu keras hingga pakaiannya robek sebagian dan lengan penuh goresan. 

   Swuuuung!

Makhluk itu merayap ke arah Katon yang masih terkapar. Wajahnya terlihat sangat puas menyaksikan lawan sudah tak berdaya. Seketika kepalanya maju ke depan, bersiap mematuk anak itu dan memangsanya. 

   “Uhkkk!!” 

Rupanya semua hanyalah tipuan. Begitu lidah monster menempel di wajahnya, mata Katon sontak terbuka lebar. Tangannya menarik leher makhluk itu dan mencekiknya sekuat tenaga.

   Groaaa! Grooaaa!

Makhluk itu pun meronta-ronta karena kesakitan. Nafasnya mulai tak karuan dan terasa sesak. Tubuhnya menggeliat heboh, berusaha meloloskan diri. Katon tentu tak akan membiarkan dia lepas. Telapak tangan dan lengannya mengeluarkan sinar kebiruan, menandakan bahwa ia memakai kekuatan ajaibnya untuk menahan gerak si monster.

Setelah merasa kenyang bermain-main, Katon berdiri dan mengangkat tubuh makhluk itu begitu tinggi ke atas. Kemudian, membantingnya jauh ke depan kelas.      

   Bruuakkk!

Seperti mainan ular-ularan, makhluk itu tak berkutik ketika tubuhnya terbang di atas kepala kami, dan menghantam dinding hingga hancur berkeping-keping. 

Kini ia terbaring lemah di bawah reruntuhan tembok. Matanya masih terbuka lebar dan terus mengeluarkan tatapan tajam. Namun ia sama sekali tak bisa bergerak, sekuat apapun dirinya mencoba. 

Saat matanya melirik ke samping, Katon sudah berdiri gagah tepat di depan wajahnya. Anak itu pun meletakkan tangan kanan di atas kepala makhluk itu. Mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya, ia merapalkan mantra dengan begitu lantang.

   Manunggal ing Dharma!

Cahaya yang keluar dari telapak tangan Katon segera membungkus monster itu hingga ikut memancarkan sinar berkilauan. Terlihat begitu indah, namun tampaknya sangat menyakitkan jika terkena tubuh.

   Oaaaargh! 

Monster itu meronta-ronta kesakitan. Matanya terbuka lebar dan merah menyala, sampai-sampai berderai air mata. 

Akan tetapi, penderitaannya tak berlangsung lama, karena tubuh monster itu perlahan berubah menjadi partikel cahaya. Beberapa saat kemudian, ia pun menghilang dari pandangan. 

Katon berdiri seraya menghela nafas panjang. Ia lega musuh berhasil ia kalahkan. Dengan santai, ia mengedipkan mata ke arahku, dan melangkah keluar dari ruang kelas.  

Dan situasi pun kembali seperti semula. Teman-temanku sudah bergerak dan beraktivitas seolah tidak terjadi apa-apa. Begitu juga puing-puing kerusakan di dalam ruang kelas yang hilang tanpa bekas. 

Aku pun tertegun dibuatnya.

“Sepertinya .....aku harus lebih rajin lagi mempelajari lontar......”



 









Selasa, 04 Maret 2025

Kupikir Aku Pintar

    

  


    Selama ini, aku selalu menganggap diriku pintar. Bagaimana tidak, aku telah melalui perjalanan hidup yang begitu gemilang hingga tak bisa ditandingi oleh siapapun. 

    Ketika duduk di bangku sekolah, aku selalu mendapatkan penghargaan sebagai siswa terbaik dengan prestasi yang tak terhitung jumlahnya. Baik dalam akademik, olahraga, bahkan kesenian sekalipun semuanya berhasil kutaklukkan. 

   Beranjak ke perguruan tinggi, lagi-lagi aku menjadi mahasiswa paling berprestasi dalam sejarah universitas setelah menjuarai puluhan kompetisi tingkat nasional dan internasional hanya dalam waktu tiga tahun. Padahal aku berkuliah di universitas terbaik di dunia. Sarangnya orang-orang hebat dari seluruh penjuru bumi. 

   Tak heran, kemana pun aku pergi diriku selalu menjadi bintang. Gadis-gadis cantik mengantri silih berganti hanya untuk berbicara atau sekedar menyentuh tanganku. Sementara teman-teman pria bersedia menjadi kaki tangan yang menuruti segala kemauanku. Bagi mereka dengan kapasitas otak terbatas, aku adalah sang raja.

   Hahahaha. Aku tahu pasti kalian tak percaya apa yang kukatakan. Atau mungkin, kalian menduga bahwa semua kata-kataku adalah omong kosong. Well, jika kalian mau bukti, tengoklah ratusan piala dan piagam yang berjajar rapi di dalam lemari kaca, juga foto-foto bersama pengusaha sukses, menteri-menteri, hingga presiden yang terpajang di dinding perpustakaan pribadiku. Semua itu adalah simbol kejayaan yang telah mengantarku hingga berada di posisi saat ini.

   Namun, rasa bangga beserta harga diriku tiba-tiba hancur lebur dalam sekejap mata, dan aku tak pernah menyangka hal ini bakal terjadi.  

    “Selamat siang. Apakah Anda Tuan Dursana?”

  Seorang wanita berbusana blazer coklat muda, kemeja putih, dan celana panjang kantoran menyambangi rumahku pada hari Minggu. Ia terlihat masih muda, kira-kira berusia 30 tahun awal. Aku yang sedang bersantai di ruang tamu pun langsung membuka pintu begitu mendengar suara bel berbunyi.

    “Benar,” jawabku mengangguk.

    “Saya Detektif Suari Wanagriya dari Kepolisian Denpasar, dan ini adalah rekan saya Detektif Kerta Winangun.” Sembari memperkenalkan diri beserta rekan prianya, wanita itu memperlihatkan lencananya di depan mataku.

     Deg!

    “P-polisi? A-apa yang mereka lakukan disini?” batinku gelisah. Jantungku serasa mau copot. Tak ada angin tak ada hujan, kenapa mereka tiba-tiba datang kemari?

     M-mustahil! Jangan-jangan......

    “Sebelumnya, kami punya beberapa pertanyaan penting untuk Anda. Apa kami boleh masuk?”

    Deg! Deg! Deg! Deg!

    Nafasku mulai mengalir tidak karuan seiring detak jantung yang berdebar semakin kencang. Karena tidak bisa berpikir jernih, aku tidak punya pilihan selain mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah.

   “Jadi, ada masalah apa?” Setenang mungkin aku berusaha menanyakan maksud kedatangan mereka. Tak disangka, mereka berbicara langsung ke intinya tanpa basa-basi sedikit pun.

  “Pada hari Kamis sekitar pukul 9 malam, ditemukan kerangka tubuh manusia di basement parkir Hotel Setralayon di daerah Sanur,” terang Detektif Wanagriya.

  “Menurut keterangan para saksi, kerangka itu berada di antara reruntuhan tembok utara basement, yang roboh akibat gempa sejam sebelumnya. Kemungkinan besar kerangka itu tersembunyi di dalam tembok beton, sehingga luput dari perhatian pihak manajemen maupun petugas keamanan”

  “Setelah uji forensik dilakukan, kami berhasil mengungkap identitasnya. Korban adalah Darma Sukawasa, seorang bankir di Departemen Keuangan Asia-Pasifik Rothberg-Blutigold Bank”

  “Berdasarkan catatan yang kami miliki di database kepolisian, Anda merupakan direktur departemen keuangan bank tersebut sejak sepuluh tahun yang lalu. Apakah Anda kenal dengan korban, Tuan Dursana?” tanya Detektif Winangun, seraya memperlihatkan pas foto seorang pria muda yang berambut pendek dengan setelan jas.

    Aku terkejut. Ternyata benar. Mereka sedang menyelidiki perkara itu! Bagaimana bisa? Padahal aku sudah menyirami tubuh itu dengan cairan khusus sebelum mengecornya diam-diam di tembok basement, yang saat itu masih dalam pembangunan. Seharusnya tubuh itu hancur tak bersisa dalam waktu hitungan bulan, bukannya malah tersimpan di dalam sana hingga bertahun-tahun!

    “I-iya. Dia adalah salah satu anak buah saya.” Dengan enggan aku pun membenarkan.

    “Bisakah Anda ceritakan lebih lanjut mengenai Pak Sukawasa? Mungkin tentang aktivitas keseharian atau kepribadiannya,” pinta Detektif Winangun.

   Sekujur tubuhku mendadak gemetaran. Merepotkan sekali permintaan mereka itu. Aku melipat bibir sejenak sembari melirik wajah penasaran mereka. Sial. Aku tidak bisa mengelak lagi. Lebih baik kujawab seadanya saja.

   “Soal itu, saya tidak tahu banyak. Sebab ia sendiri sudah mengundurkan diri lima tahun lalu, dan saya belum pernah melihatnya lagi sejak itu,”  kataku diplomatis.

  “Namun selama bekerja dengannya, saya mengenal Sukawasa sebagai bankir yang sangat kompeten. Ia selalu menyelesaikan tugas dengan serius dan jujur. Tak heran ia begitu disukai dan dihormati oleh atasan maupun bawahan, juga nasabah yang ia layani”

  “Saya tak menyangka Sukawasa akan bernasib malang seperti ini. Andai saja saya bisa menemuinya untuk terakhir kali. Sayang sekali.....”

  Sambil menghela nafas berat, aku berpura-pura memasang muka sedih dan menggelengkan kepala. Kupikir dengan cara itu, mereka bakal merasa tak ada gunanya untuk mengorek keterangan dariku, lalu memutuskan pergi begitu saja. Rupanya aku salah.

 “Berarti, Anda tidak pernah bertemu lagi dengan Pak Sukawasa sampai hari ini?” tanya Detektif Wanagriya.

   “Benar”

   Kedua polisi itu saling bertatapan. Entah kenapa raut wajah mereka justru tampak lebih sumringah dari sebelumnya.

   “Wah, kebetulan sekali. Menurut hasil otopsi, Pak Sukawasa diperkirakan tewas sejak lima tahun yang lalu. Tak hanya itu, kami juga menemukan retakan dan tanda-tanda kekerasan di tengkorak kepala korban. Karena itulah kasus ini sudah dinaikkan statusnya menjadi pidana pembunuhan,” ujar si penyelidik wanita.

   “Kalau boleh tahu, kira-kira pada tanggal berapa ia mengundurkan diri? Atau mungkin Anda masih menyimpan surat pengunduran dirinya? Siapa tahu kami bisa menemukan sesuatu.....”

   Hah? Mereka juga bisa menebak kapan dan bagaimana si brengsek itu mati? Jangan bercanda! Aku sudah merancang semuanya secara matang dan penuh hati-hati. Seharusnya semua yang telah kulakukan sempurna. A Perfect Crime! Kurang ajar sekali orang-orang rendahan ini menyepelekan segala usahaku. Sombong sekali mereka kalau berpikir bisa semudah itu menjatuhkanku.

   Sialan! Kenapa malah jadi begini? Apa pun yang kulakukan seakan-akan terus berbalik menyerang diriku.

   “Sayangnya, saya belum pernah melihat surat itu lagi. Sudah lama sekali Sukawasa mengundurkan diri. Jadi saya tidak mungkin menyimpan suratnya berlama-lama, apalagi mengingat waktu dan tanggal dia berhenti dari perusahaan,” jelasku, mencoba meyakinkan mereka bahwa surat itu sudah lama hilang.

    “Ah, benar juga ya. Hahaha”

    Selang beberapa menit kami pun saling beramah-tamah. Sesekali Detektif Wanagriya bertanya-tanya mengenai rasanya bekerja di bank dan hal-hal remeh lainnya. Sepertinya mereka berusaha membuat suasana menjadi lebih rileks, karena membicarakan kasus pembunuhan terus-menerus pasti membuat siapa pun tidak nyaman. Namun aku tak bisa tenang sama sekali. Otakku sibuk memikirkan apa yang harus kulakukan untuk menyingkirkan bukti-bukti yang tersisa dan mencegah polisi menemukan kebenaran.

    Tak ada jalan lain. Aku harus turun tangan langsung!

 

******

  Keesokan harinya, aku bergegas menuju kantorku di bilangan Renon. Namun aku tidak langsung pergi ke ruanganku, melainkan ruang penyimpanan arsip. Aku ingat masih ada dokumen-dokumen terkait Sukawasa yang tersimpan disana. Sebenarnya aku ingin menyingkirkannya sejak dulu. Cuma karena ada berbagai prosedur yang harus dilewati, aku tidak bisa melakukannya begitu saja.

  Sekarang aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harus segera menghancurkan semua dokumen itu. Masa bodoh dengan peraturan. Paling kalau ketahuan melanggar cuma kena sanksi administratif saja. Itu jauh lebih baik dibandingkan membusuk di balik jeruji besi seumur hidup.

 Berbekal kunci yang kuperoleh dari seorang staf, aku melangkah masuk ke ruang arsip. Kutelusuri setiap lemari dan rak yang jumlahnya tak terhitung. Kubuka satu persatu dokumen dari lima tahun lalu yang tersimpan rapi di dalam kotak terkunci. Pencarian selama berjam-jam itu akhirnya membuahkan hasil. Aku menemukan map dokumen warna hitam yang kuinginkan.  

  Akan tetapi, meski sampulnya tetap sama, isi map dokumen itu sudah banyak yang hilang. Parahnya, bagian-bagian hilang tersebut justru yang paling penting, sehingga bahaya sekali jika polisi mampu menemukannya lebih dulu. Aku yang kelimpungan lantas bertanya kepada salah satu petugas disana.

   “Mohon maaf pak. Saya kebetulan baru bertugas disini kurang lebih selama dua tahun. Jadi saya tidak tahu banyak mengenai dokumen yang disimpan sejak lima tahun lalu, termasuk apa saja isi di dalamnya,” jelas si petugas.

   Aku hampir saja dilanda rasa kecewa sebelum pria itu melanjutkan kata-katanya. “Tapi manajer pernah bilang bahwa perusahaan juga menyimpan beberapa dokumen serta data-data di tempat penyimpanan khusus. Bisa jadi apa yang tuan cari berada disana”

   “Benarkah?!” seruku gembira. “Bisa kau tunjukkan dimana letak tempat itu?”

   “Untuk lokasinya sendiri tidak berada di kantor ini, tuan. Bagaimana jika saya tuliskan saja alamatnya agar lebih mudah saat mencarinya?” Ia menawarkan.

    Aku mengangguk. Tentu saja aku tidak keberatan.

 

*****

   Mengendarai mobil sendirian, aku meluncur ke lokasi sesuai alamat yang tertulis. Rupanya tempat yang dimaksud adalah gudang penyimpanan di Pelabuhan Benoa. Disana banyak dokumen yang “tidak terpakai” (sangat rahasia) disimpan di dalam belasan peti kemas berukuran besar. Sebagai salah satu petinggi Rothberg-Blutigold, aku pernah mendengar bahwa manajemen bank memiliki penyimpanan di luar kantor. Namun aku tidak mengira mereka menggunakan peti kemas di pelabuhan.

   “Coba kita lihat. Blok F-20.......Blok F-20.” Sembari berjalan menyusuri lorong, aku mencari tempat penyimpanan itu. Setiap peti kemas diberikan nomor blok masing-masing, yang tentu memudahkan kita saat melacaknya. Dan benar saja. Tidak butuh waktu lama, aku berhasil menemukan peti kemas nomor F-20. Lokasinya agak jauh ke dalam gudang, sehingga aku butuh cahaya senter untuk membantu penglihatan.

   Srak! Srak! Srak!

   Aku menurunkan kotak besi yang ditempeli stiker bertuliskan angka 2019, yang menandakan isinya adalah file dari lima tahun lalu. Kulepas kunci gembok yang terpasang, lalu kubuka penutupnya. Di dalamnya terdapat map dokumen warna coklat muda yang disusun secara bertumpuk. Bagian sampulnya dibubuhi oleh stempel Confidential (rahasia), yang biasa digunakan untuk dokumen sangat penting. Itulah kenapa aku merasa yakin apa yang kucari berada disini.

  “Ketemu!” teriakku setelah menemukan dokumen tersebut. Begitu berada dalam genggamanku, aku pun buru-buru membukanya. Kuperiksa setiap lembaran di dalamnya agar tidak ada yang terlewatkan. Tenyata isinya komplit. Data-data pinjaman, bukti setoran, kwitansi, hingga formulir bertuliskan “Mangunalit Construction”, semuanya lengkap tanpa kurang satu bagian pun.

  “Syukurlah....,” gumamku seraya mengusap peluh di wajah. Seumur hidup baru kali ini aku merasa sangat lega. Seolah-olah beban hidup yang selama ini kupikul di pundakku sirna begitu saja.

  Sekarang, yang perlu aku lakukan adalah memusnahkan seluruh bukti-bukti ini. Kubawa map dokumen tersebut diam-diam ke suatu tempat di areal pelabuhan yang tampaknya jarang dilalui orang. Kemudian, aku mengeluarkan korek gas dari saku celana dan langsung menyulut api. Dalam hitungan menit, semua lembaran dalam map itu terbakar sepenuhnya. Menyisakan abu dan serpihan kertas yang seketika kubuang ke laut untuk menghilangkan jejak.

  Beres sudah. Dengan begini, polisi tidak akan mungkin mendapatkan bukti untuk menyeretku ke penjara.

  Setidaknya itulah yang kupikirkan pada awalnya.

*****

    “Malartha Dursana, Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap Darma Sukawasa.”

   Aku sedang mengikuti rapat dengan presiden bank dan para petinggi lain di ruang konferensi. Tiba-tiba, sejumlah polisi membuka pintu lalu melangkah masuk ke dalam ruangan. Detektif Wanagriya dan Detektif Winangun termasuk di antaranya. Keduanya langsung menghampiriku dan menunjukkan surat penangkapan yang diterbitkan oleh pengadilan dan kepolisian.  

   Sontak aku menatap kertas itu dengan mata terbelalak saking tak percaya.

 Salah seorang petugas berusaha menarik tubuhku dan memasang borgol di pergelangan tanganku. Namun secara refleks aku menepisnya dan buru-buru menghindar.

   “Lepaskan!” jeritku penuh kemarahan.

   “Apa-apaan ini? Lancang sekali kalian tiba-tiba ingin menangkapku! Apa maksud kalian aku yang membunuh Sukawasa, hah?! Kalian pikir aku akan melakukan hal sekeji itu kepada rekan kerjaku sendiri? Kurang ajar. Dasar orang-orang brengsek!”

    Dibutakan oleh emosi yang memuncak, aku terus mencaci maki mereka dengan tatapan tajam. “Memangnya kalian punya bukti akulah yang membunuh Sukawasa?! Jangan asal tuduh sembarangan! Habis ini aku pasti akan menuntut kalian semua atas tuduhan palsu!”

    Ucapanku yang keras disertai bentakan sempat membuat para polisi itu mundur sejenak. Mereka tampak bingung saat berhadapan dengan situasi semacam ini. Mungkin mereka tak terbiasa menghadapi tersangka yang terus memberi perlawanan di ruangan yang dipenuhi oleh bankir kelas atas dan elit dunia bisnis. Lain halnya dengan Detektif Wanagriya, yang malah sama sekali tidak bergeming.

    “Bukti? Tentu saja kami punya.” Seakan tidak gentar oleh ancamanku, si penyidik wanita mengambil file yang disimpan di dalam tasnya dengan tenang. Ia mengeluarkan  selembar kertas dan menunjukkannya kepada semua orang yang ada di ruangan.

    Saat itu aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi. Kertas yang digenggam Detektif Wanagriya sama persis dengan salah satu isi dokumen yang telah kubakar di pelabuhan!

    “D-dari mana kau dapatkan kertas itu?!” Tanpa sadar aku keceplosan melontarkan perkataan yang seketika menggugurkan alibiku. Aku berusaha menutup mulutku dengan kedua tangan, namun semuanya sudah terlambat.

   “Kami memperoleh lembar data ini langsung dari database komputer milik Rothberg-Blutigold.” jawab Detektif Wanagriya menerangkan.

  “Bank ini memang punya sistem pengarsipan yang bagus. Mereka rutin melakukan scan data-data dan dokumen yang mereka miliki, lalu menyimpannya di server pusat dalam format digital. Sehingga siapa pun yang memiliki akses dapat melihatnya dari mana saja secara online

   Aku tercengang dan nyaris saja menepuk jidat. Astaga. Bisa-bisanya aku lupa soal arsip dokumen digital! Padahal sebagai direktur keuangan aku juga mendapat akses untuk menghapus dokumen yang tak lagi dibutuhkan. Kenapa aku sama sekali tidak memanfaatkannya? Urgh.....

   “Sejak awal, kami sudah curiga bahwa kasus pembunuhan ini pasti ada kaitannya dengan urusan internal bank ini. Terlebih, hotel tempat jenazah korban ditemukan merupakan salah satu anak usaha Rothberg-Blutigold, yang diresmikan sekitar  empat tahun lalu. Artinya, ketika Pak Sukawasa dibunuh, Hotel Setralayon masih dalam pembangunan. Itulah alasan mengapa tubuhnya bisa dikubur di balik tembok basement parkir”

   “Masalahnya,” lanjut Detektif Winangun. “.....sangatlah tidak mungkin untuk menyembunyikan tubuh korban dengan cara seperti itu tanpa sepengetahuan kontraktor atau pekerja proyek. Makanya kami pun mendatangi Mangunalit Construction, perusahaan konstruksi yang menangani pembangunan hotel itu”

  “Hanya saja, pihak Mangunalit tidak bisa memberikan banyak informasi, karena proyek Hotel Setralayon dikerjakan sebelum perusahaan itu merger dengan konsorsium asing. Hampir semua manajer dan pekerja yang terlibat di dalamnya mundur atau pindah ke perusahaan lain setelah pergantian manajemen”

  “Namun, fakta soal merger itu pula yang akhirnya menjadi kunci pemecahan kasus ini,” tambah Detektif Wanagriya.

  Aku menyimak penjabaran kedua penyidik itu dengan wajah tegang, sedangkan tubuh ini terus gemetaran dari kepala sampai ujung kaki. Semua yang mereka katakan benar-benar tepat sasaran! Padahal mereka baru menangani kasus ini selama dua minggu. Oh, tidak. Kalau begini terus, segala usahaku untuk menutupi masalah ini akan terbuang sia-sia!

  Akan tetapi, aku pun sadar tidak bisa berbuat apa-apa. Mustahil bagiku untuk membungkam mereka ketika para polisi sudah mengepung ruangan ini. Yang bisa kulakukan adalah berharap hasil investigasi mereka salah, dan aku punya celah untuk menyangkal segala tuduhan.

  “Coba perhatikan data ini.” Si penyidik wanita menunjuk kertas yang ia pegang.

 “Pada awal tahun 2017, Mangunalit mengalami kerugian besar setelah gagal menyelesaikan proyek resort dan infrastruktur di Karibia dan Seychelles. Mereka terjerat utang hingga triliunan rupiah dan terancam mengalami gagal bayar”

  “Biasanya, perusahaan yang nyaris bangkrut tidak akan mendapatkan pinjaman tambahan dari bank. Sebab, risiko utang tersebut tidak kembali sangat besar. Namun pada Oktober 2017 atau 10 bulan kemudian, Mangunalit justru memperoleh kucuran dana sebesar 5 triliun rupiah. Aneh sekali bukan?”

  Detektif Winangun mengambil dua lembaran lain dari map, lalu menyandingkannya di hadapan para hadirin. “Di tangan kiri saya adalah laporan keuangan Mangunalit yang kami temukan di gudang penyimpanan mereka. Pada tahun 2017, mereka tercatat rugi sebesar 3,5 triliun rupiah. Namun dalam proposal pinjaman yang diajukan, mereka malah disebut untung sebesar 1 triliun rupiah”

 “Dengan kata lain, ada orang dalam di bank ini yang memanipulasi data keuangan Mangunalit sedemikian rupa hingga dianggap layak dapat pinjaman. Dan orang yang menandatangani proposal ini adalah mendiang Darma Sukawasa”

  Para petinggi saling berpandangan dengan wajah tak percaya. Mereka jelas sangat terkejut dan tak menyangka ada kecurangan sebesar ini di tubuh bank mereka.

 “Berarti, Sukawasa yang memanipulasi proposal keuangan Mangunalit?” tanya seorang anggota direksi karena penasaran.

  “Sekilas memang terlihat seperti itu. Namun kami menemukan fakta-fakta lain yang menunjukkan sebaliknya,” terang Detektif Wanagriya. “Pada bagian kiri bawah kertas proposal ini terdapat sebuah kode kecil. Ia berfungsi untuk mengidentifikasi siapa pembuat dokumen tersebut. Setelah ditelusuri, kami menemukan penyusun proposal ini adalah akun bernomor 951007225, atas nama Malartha Dursana”

   “Tuan Dursana, orang yang memanipulasi proposal pinjaman Mangunalit adalah Anda”

  Seisi ruangan pun kian gempar. Seorang direktur keuangan yang sangat dihormati dan dikenal punya reputasi mentereng rupanya melakukan pelanggaran berat sekaligus mencederai kode etik sebagai bankir. Aku hanya bisa tertunduk karena tidak tahan menyaksikan kekecewaan mereka.

  “Tunggu sebentar. Ada satu hal yang tidak aku pahami. Mengapa Dursana berbuat sejauh itu untuk memberi Mangunalit pinjaman?” tanya anggota direksi yang lain.

  “Memang betul mereka adalah salah satu klien kami yang paling penting. Tapi jika Mangunalit pailit sejak awal, kami tetap bisa menarik balik pinjaman dengan menjual perusahaan itu kepada pihak lain. Itulah yang kami lakukan tahun 2019, ketika mereka resmi dinyatakan bangkrut”

  Menanggapi pertanyaan itu, Detektif Wanagriya pun memperlihatkan satu kertas lain, yang kali ini berwarna biru plus dilengkapi tabel.

  “Beberapa hari lalu, kami memperoleh daftar pemegang saham Mangunalit selama periode 2010 hingga 2019. Setelah diperiksa, ditemukan satu pemilik misterius bernama Ferluci Investment. Perusahaan ini terdaftar di Kepulauan Virgin Inggris dan tidak jelas aktivitas apa yang mereka lakukan selama ini. Sehingga kami mencurigainya sebagai perusahaan cangkang yang didirikan untuk pencucian uang,” tegasnya.

  “Kami pun menyelidiki aliran dana perusahaan ini, yang ternyata mengarah kepada rekening rahasia Tuan Dursana di salah satu bank Swiss. Secara tidak langsung, ia menggunakan Ferluci Investment untuk menguasai lima persen kepemilikan saham di Mangunalit. Tindakan ini jelas pelanggaran hukum berat, yang melarang bankir untuk melakukan pencucian uang.”

  “Saat Mangunalit terancam bangkrut, Tuan Dursana ikut kena getahnya. Nilai saham yang ia miliki bakal terjun bebas, dan ia akan kehilangan seluruh uangnya.” Detektif Winangun kembali menambahkan.

  “Maka dari itu, Tuan Dursana berusaha menyelamatkan Mangunalit dengan segala cara. Ia menekan Pak Sukawasa, yang merupakan anak buahnya, untuk mengajukan proposal baru untuk Mangunalit. Berkat pinjaman tersebut, perusahaan konstruksi itu bisa selamat dari kehancuran untuk sementara waktu”

  “Pada tahun 2019, Mangunalit tidak bisa lagi bertahan dan akhirnya dinyatakan bangkrut. Meski begitu, Tuan Dursana tidak mengalami kerugian sedikit pun. Karena setelah mendapat pinjaman, keuangan Mangunalit sempat membaik. Harga saham mereka juga kembali stabil, bahkan mengalami tren kenaikan selama beberapa bulan”

  “Saat itu juga, Tuan Dursana mengambil kesempatan dengan menjual seluruh saham yang ia punya, dan berhasil meraih keuntungan hingga ratusan miliar. Semua telah diprediksi olehnya”

 “Sayangnya, Pak Sukawasa tidak seberuntung itu. Sebagai orang yang menandatangani proposal pinjaman, ia dianggap tak kompeten. Karir yang susah payah ia bangun pun tercoreng. Ia terancam dimutasi ke kantor cabang di daerah pelosok dan tak mungkin lagi dapat posisi tinggi,” kata Detektif Wanagriya.

  “Jika dilihat dari bukti yang ada, kami menduga Pak Sukawasa marah karena merasa dikorbankan oleh atasannya. Ia pun mengancam akan membeberkan semua dosa-dosa yang dilakukan. Motif itulah yang mendorong Tuan Dursana untuk menghabisi nyawa Pak Sukawasa. Kemudian, menyamarkan pembunuhan ini dengan surat pengunduran diri palsu atas nama korban dan mengecoh semua orang”

   Penyidik wanita itu mengakhiri penjelasannya dengan menatap diriku yang pucat dan bercucuran keringat. Habislah sudah! Orang-orang ini telah berhasil mengungkap semuanya sampai ke akarnya. Sebentar lagi aku pasti akan dijebloskan ke penjara tanpa pernah bisa keluar lagi.

   “Ya ampun. Apa yang sudah kulakukan? Kenapa aku malah berubah jadi pecundang begini?” Tak henti-hentinya aku membatin penuh penyesalan. Namun waktu takkan mungkin terulang lagi. Nasi telah menjadi bubur.

   “Bagaimana, Tuan Dursana? Apakah Anda mengakui kejahatan yang Anda lakukan?” Detektif Wanagriya berusaha membujukku untuk menyerahkan diri.

   “Kejahatan? Apa maksudmu, dasar bodoh.” Kalut sekaligus putus asa, tanpa sadar aku justru gelap mata mengumpat polisi itu.

   “Kalian masih tidak paham juga kah? Mangunalit adalah perusahaan kelas dunia kebanggaan negara ini. Membantu mereka sama saja dengan melindungi kehormatan bangsa!” teriakku sekuat tenaga.

   “Memang benar aku punya saham di perusahaan itu. Tapi semua itu kulakukan untuk mendukung mereka semakin maju. Tidak ada satupun orang di negara ini yang berkorban sejauh itu selain aku!”

   Brakkk! Kugebrak meja dengan emosional hingga semua orang terperanjat. Mereka mungkin berpikir aku sudah gila. Ya, aku memang tidak waras. Aku tidak peduli lagi dengan etika, kehormatan, atau rasa malu, asalkan aku bisa lampiaskan amarahku.

 “Sukawasa.....si bedebah itu! Dia benar-benar naif. Ia pikir ancaman murahan begitu bisa menjatuhkanku. Padahal sekali saja kupukul kepalanya dengan tongkat besi, ia langsung rebah tanpa bisa bangun lagi!”

  “Betapa idiotnya dia bilang aku harus mengakui semuanya dan mundur demi kebaikan bank ini. Hahaha! Memangnya dia tahu apa soal bank ini? Dasar tol—”

  “Sudah cukup!”

   Kegilaanku berakhir setelah presiden bangkit dari kursinya dengan nada tinggi. Wajahnya terlihat merah padam. Dengan murka ia mendatangiku dan...

   Plakk!

  Ia menampar wajahku begitu keras hingga diriku tersungkur ke lantai. Baru kali ini aku melihatnya seperti itu. Biasanya presiden adalah sosok yang tenang dan ramah kepada siapa saja. Saat itu barulah kusadari bahwa tak ada lagi pintu maaf bagi perbuatanku. Riwayatku sudah tamat.

 “Bertanggung jawablah atas segala kejahatanmu.” Ia menepuk pundakku, lalu pergi bersama sekretarisnya. Meninggalkan diriku yang hanya bisa terduduk lemas tak berdaya dengan tatapan kosong.

*****

    Matahari sebentar lagi akan terbenam di ufuk barat. Aku menatap langit senja yang perlahan kian gelap dari balik ventilasi sel penjaraku yang sempit. Sudah lima hari lebih aku tinggal di ruangan kecil ini. Tidak ada lagi rumah megah, mobil mewah, dan hidangan mahal buatan chef ternama. Yang kumiliki saat ini hanya setumpuk baju tahanan dan makanan dingin untuk para narapidana.

   Hingga kini rasanya berat untuk menerima nasibku yang berakhir sebagai sampah masyarakat. Namun suka tidak suka, aku harus mendapat ganjaran atas apa yang telah kuperbuat.

  “Hei, apa kau sudah dengar?” Sayup-sayup kudengar suara para sipir penjara. Mereka memang senang mengobrol sembari berpatroli rutin tiap sore.

  “Detektif Wanagriya dan Detektif Winangun berhasil memecahkan kasus pembunuhan bankir Rothberg-Blutigold lima tahun yang lalu dan membongkar skandal salah satu petinggi mereka.”

   “Hah? Kau serius?” Rekannya tampak tidak percaya.

   “Aku tidak bohong. Aku mendengarnya langsung dari komandan,” bela sang sipir.

  “Dua orang itu benar-benar luar biasa. Padahal awalnya mereka cuma polisi  lulusan SMA yang jadi penyidik setelah dapat pelatihan reserse selama enam bulan. Tapi kualitas mereka gak kalah dengan para detektif elit!”

  “Itu tandanya kemampuan gak selalu memandang latar pendidikan”

  “Hahaha. Kau benar”

  Perlahan suara gelak tawa para sipir itu kian menjauh lalu menghilang. Namun isi perkataan mereka terus terngiang di kepala hingga membuatku jatuh terduduk. 

  Aku, seorang bankir cerdas lulusan universitas terbaik di dunia, telah dikalahkan oleh polisi tamatan SMA..... 




Selasa, 25 Februari 2025

Highschool SOS Chapter 1 - Kisah di Sekolah Baru

 Matahari belum sepenuhnya muncul dari balik awan, tapi pagi itu Jalan Tenis telah dipadati ratusan sepeda motor siswa SMA Nirartha. Kuda besi itu lalu lalang di jalanan, menderu-deru memecah kesunyian kota

      Zaman ketika industri otomotif sedang makmur seperti ini, setiap orang sepertinya punya kendaraan pribadi, sampai anak SMA saja ke sekolah membawa sepeda motor sendiri.

    Tak heran lapangan sekolah yang dipadati oleh ribuan kendaraan ini terkadang tidak bisa dipakai untuk kegiatan lain. Misalnya olahraga, ekstrakurikuler, bahkan upacara bendera sekalipun.

     Tapi ternyata ada satu murid yang tidak membawa kendaraan hari ini. Teman-teman yang membawa motor sudah menawarkan tumpangan, tapi siswi SMA ini memutuskan tetap berjalan kaki menuju sekolah.

      Oke juga murid cantik yang satu ini, semangatnya boleh ditiru.

    Remaja yang tingginya kira-kira 165 cm ini mengayunkan kakinya yang beralaskan sepatu hitam, menyusuri jalanan yang berukuran tidak terlalu lebar itu. Badannya terlihat segar. Namun sayang, raut wajahnya lesu.

     "Duh, hari pertama sekolah kok perasaan tidak nyaman begini ya,"gumamnya.

   "Tadi pakai acara berdebat segala sama ibu, katanya 'kalau gagal seperti SMP dulu awas saja ya!'. Sekolah saja belum mulai kok sudah dimarahi seperti itu, aneh...."

   Saat tiba di gerbang sekolah, mulutnya tetap tidak bisa diam. Sampai beberapa siswa heran lihat tingkahnya. Ini cewek kok ngomong sendiri ya? Begitulah pikir mereka.

    Tapi memang siswi bernama Retna Arimbawa ini punya prestasi yang 'nyaris' hancur saat SMP dulu. Nilainya rendah semua, bahkan pernah gurunya sampai kehabisan tinta pulpen merah cuma buat mengisi rapor dia saja.

   Masuk ke gerbang sekolah, lamunannya yang jauh membuat dia nggak fokus sama situasi sekitar. Tiba-tiba, ada seorang murid berlari kencang kearahnya. Sama seperti Retna, murid itu juga nggak fokus saat lari. Akhirnya, tabrakan pun tidak terhindarkan.

   Sambil merintih kesakitan, Retna merapihkan barang-barang di tas kecilnya yang jatuh berceceran. Murid laki-laki itu langsung membantunya.

   "Hei, kalau lari lihat-lihat dong!" protes Retna kesal.

   "Maaf, nggak sengaja," kata cowok itu sambil merapikan barang-barang yang berceceran.

   "MaAf, NgGak sEnGajA" ucap Retna, meniru kata-kata cowok itu sambil komat-kamit.

    Namun, tiba-tiba cowok itu menatap Retna dengan serius

    "Lho, kamu itu kan...." kata cowok itu dengan tajam. Ia menatap wajah Retna tanpa berkedip sedikit pun. Tatapannya sangat tajam, sampai-sampai Retna berpikir apa dia pernah mengenal cowok ini.

     "A....anu..." Retna berbicara terbata-bata.

   "Kamu itu.....CANTIK YA !" kata cowok berambut gondrong itu sambil tertawa terbahak-bahak. Retna yang sedang berpikir keras itu jadi sewot.

    "Sialan," pikir Retna kesal.

    Dengan wajah cemberut, dia bangkit dan meninggalkan cowok itu.

  "Eh, kok udah langsung pergi sih? Kenalan dulu dong. Hei.." kata cowok itu sambil mengikuti langkah Retna.

   "Ini cowok kenapa sih?" pikir Retna bingung.

  Langkah kakinya semakin lama semakin cepat kearah gedung sekolah. Tapi cowok itu pantang menyerah mengikutinya.

   "Tunggu dong, aku kan mau kenalan dulu," katanya sambil cengengesan. "Perkenalkan, namaku Wi..."

     Belum selesai berbicara, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah belakang mereka berdua.

    "Hei, Willy! Kamu tadi pakai kuota internet saya tanpa izin kan? Hayo, ngaku!" seru murid cowok lain yang berambut cepak dan berkacamata. Wajahnya tampak kesal. Cowok yang lagi asyik menggoda Retna itu mendadak kaget, langsung melanjutkan larinya yang tertunda.

    "Eh, mau kemana kamu? Jangan coba-coba lari ya "

     Cowok berkacamata itu langsung mengejar targetnya yang berlari kencang kearah sekolah.

     Retna bengong sambil menatap kedua orang yang kejar-kejaran itu.

     " Willy?"

*****

  Ternyata, mencari ruangan kelas di sekolah itu lumayan susah juga. Retna pun jadi kelimpungan.  Sejak tadi dia sudah berkeliling dari kelas ke kelas, tapi belum ketemu juga.

    Karena lelah, Retna berhenti sejenak. Dilihatnya jam tangan merah mudanya, sudah jam 7:25. Pelajaran dimulai pukul 7:30, dan kelasnya belum ditemukan juga.

     "Aduh, tinggal lima menit lagi. Dimana sih kelasnya?” pikir Retna pusing.

   Tiba-tiba ia melihat ada seorang pria bercelana jeans sedang berjalan di koridor itu. Tanpa pikir panjang, Retna langsung menghampiri untuk bertanya.

     "Anu, permisi," tanya Retna sambil menyentuh tubuh pria itu.

   Alangkah terkejutnya Retna saat melihat pria yang berbalik itu. Wajahnya terlihat sangar dengan kacamata hitamnya. Rambutnya berwarna pirang, yang jelas-jelas diwarnai karena tidak pas dengan kulitnya yang gelap. Anting-anting di telinganya telah menambah kesan 'nakal' dari dalam diri pria itu.

     Keringat dingin mulai bercucuran di wajah Retna.

    "Ke....kelas X IPS 2 a....ada di...dimana ya?” tanya Retna gugup. Hari pertama jadi siswa pindahan memang berat.

     "Ada di Gedung Pembelajaran 2. Letaknya persis di depan taman, dan kelasnya ada di lantai dua," suara serak pria bergaya metal itu makin membuat suasana menjadi angker.

      "Be....begitu ya. Te..terima kasih," tanpa basa-basi Retna langsung menjauh dari pria itu.

     Sambil menatap tubuh Retna dari kejauhan, senyum licik mengembang di wajah pria itu.

*****

    Setelah melewati beberapa "cobaan”, Retna pun berhasil sampai dengan selamat sentosa di kelas X IPS 2. Ia pun mengintip lewat jendela, oh ternyata sudah ada gurunya.

   Pintu pun diketuknya dengan perlahan sampai suara "Masuk!" terdengar dari balik pintu kayu berwarna abu-abu itu.

     Rasa deg-degan langsung dirasakan Retna saat masuk ke dalam kelas. Semua orang di kelas terlihat antusias. Mungkin karena murid baru, jadi mereka masih penasaran sama penampakan makhluk asing ini.

    "Ah, kau kan murid baru itu. Maaf ya, soalnya saya lupa menemani kamu menuju kelas," kata guru itu ramah.

    "Tidak-apa-apa Bu Nena. Saya malah semakin terbiasa dengan sekolah ini," kata Retna kalem.

   "Baik, semuanya mohon perhatiannya. Hari ini kita kedatangan murid baru. Ayo, perkenalkan dirimu"

  "Selamat pagi, teman-teman," sapa Retna sambil tersenyum. Walaupun terlihat tenang, wajahnya banjir keringat dingin.

   "Pagi" jawab mereka serempak dengan ceria. Bahkan ada beberapa sambil cengengesan.

  "Perkenalkan, namaku Retna Arimbawa, tapi bisa dipanggil Retna. Aku adalah siswa pindahan dari SMA Sandikala, yang bubar karena bangkrut. Jadi aku sudah pernah bersekolah SMA sebelumnya, walaupun sebentar"

    "Oh begitu ya," jawab para murid serempak sambil tertawa, membuat keringat dingin di tubuh Retna mengalir seperti air terjun.

  "Jadi mulai hari ini, mohon bantuannya," kata Retna sambil membungkuk. Siswa yang lain pun bertepuk tangan menyambut murid baru di kelas mereka.

   "Ya, jadi itu perkenalan dari teman baru kita," kata Bu Nena sambil tersenyum. "Retna, sekarang kamu bisa langsung duduk. Cari tempat duduk yang kosong ya"

     Retna pun mengangguk. Matanya pun sibuk melihat-lihat ke sekeliling kelas, dan ternyata hanya ada satu bangku yang kosong. Letaknya di deretan paling depan dekat papan tulis. Retna sebenarnya lebih suka duduk di belakang, tapi karena semua bangku sudah terisi akhirnya dia pun duduk disana.

   "Semuanya, karena tempat duduk siswa sudah ditentukan oleh saya, maka tidak boleh ada yang pindah tempat duduk" kata Bu Nena, guru sejarah yang juga menjabat wali kelas itu.

     "Oke, sekarang kita mulai pelajarannya. Hmm, ngomong-ngomong, dimana Wilantika?"

    Seketika, semua siswa di kelas itu kebingungan. Mereka menoleh ke berbagai arah seperti mencari sesuatu yang hilang. Kelas pun mulai gaduh.

    "Siapa itu Wilantika?" tanya Retna kepada temannya yang duduk di belakangnya.

    "Oh, dia murid yang duduk sebangku dengan kamu," kata teman perempuan itu.

    "Begitu ya," Retna mengangguk kecil saat mendengarnya.

   "Ada yang tahu dimana Wilantika?" tanya Bu Nena kepada para siswa. Namun mereka semua tidak menjawab, dan tetap saling memandang satu sama lain dengan wajah kebingungan.

    Seorang siswa laki-laki yang duduk di bagian belakang mengangkat tangannya, lalu menjawab

    "Bu, tadi dia berlari keluar kelas saat temannya datang"

    "Berlari keluar kelas? Kenapa?" tanya Bu Nena heran.

   “Saya kurang tahu, tapi sekilas saya dengar temannya marah karena dia diam-diam menghabiskan kuota internetnya untuk main game online "

    "Lalu Wilantika lari dari kelas dan temannya mengejarnya?" tanya Bu Nena.

   Siswa itu pun mengangguk. Mendengar hal itu, Retna langsung kaget, karena cerita siswa itu sangat familiar di telinganya.

   "Jangan-jangan...." pikir Retna khawatir.

  Tiba-tiba, terdengar suara pintu kelas dibuka. Muncullah sosok pemuda berseragam putih abu-abu, yang membuat kekhawatiran Retna menjadi kenyataan.

   "Wilantika, darimana saja kamu?" tanya Bu Nena.

   "Maaf, bu, saya tadi sempat ada urusan dengan teman saya," kata Wilantika.

    "Ketika ingin kembali ke kelas, saya dipanggil oleh guru Bimbingan Konseling"

   "Bimbingan Konseling? Memangnya ada apa?"

   "Yah...." kata pemuda itu. Lalu, ia membisikkan sesuatu kepada sang guru.

    Bu Nena pun langsung mengangguk-angguk.

  "Baiklah, tidak apa-apa. Silahkan duduk"

   Wajah pemuda itu langsung sumringah ketika melihat Retna yang duduk tepat sebangku dengannya.

   "Hai cantik, ternyata kita memang jodoh ya, hehehehe," sapa si pemuda dengan riang gembira.

   Retna langsung membuang mukanya yang memerah. Pemuda itu adalah Wilantika Sasna, atau Willy.

   Cowok yang mengganggunya tadi.


Featured

[Featured][recentbylabel2]

Featured

[Featured][recentbylabel2]
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done