Selama ini, aku selalu menganggap diriku pintar. Bagaimana tidak, aku telah melalui perjalanan hidup yang begitu gemilang hingga tak bisa ditandingi oleh siapapun.
Ketika duduk
di bangku sekolah, aku selalu mendapatkan penghargaan sebagai siswa terbaik
dengan prestasi yang tak terhitung jumlahnya. Baik dalam akademik, olahraga,
bahkan kesenian sekalipun semuanya berhasil kutaklukkan.
Beranjak ke perguruan
tinggi, lagi-lagi aku menjadi mahasiswa paling berprestasi dalam sejarah
universitas setelah menjuarai puluhan kompetisi tingkat nasional dan
internasional hanya dalam waktu tiga tahun. Padahal aku berkuliah di
universitas terbaik di dunia. Sarangnya orang-orang hebat dari seluruh penjuru
bumi.
Tak heran,
kemana pun aku pergi diriku selalu menjadi bintang. Gadis-gadis cantik mengantri
silih berganti hanya untuk berbicara atau sekedar menyentuh tanganku. Sementara
teman-teman pria bersedia menjadi kaki tangan yang menuruti segala kemauanku. Bagi
mereka dengan kapasitas otak terbatas, aku adalah sang raja.
Hahahaha. Aku
tahu pasti kalian tak percaya apa yang kukatakan. Atau mungkin, kalian menduga
bahwa semua kata-kataku adalah omong kosong. Well, jika kalian mau bukti,
tengoklah ratusan piala dan piagam yang berjajar rapi di dalam lemari kaca,
juga foto-foto bersama pengusaha sukses, menteri-menteri, hingga presiden yang
terpajang di dinding perpustakaan pribadiku. Semua itu adalah simbol kejayaan
yang telah mengantarku hingga berada di posisi saat ini.
Namun, rasa
bangga beserta harga diriku tiba-tiba hancur lebur dalam sekejap mata, dan aku
tak pernah menyangka hal ini bakal terjadi.
“Selamat
siang. Apakah Anda Tuan Dursana?”
Seorang
wanita berbusana blazer coklat muda, kemeja putih, dan celana panjang kantoran menyambangi
rumahku pada hari Minggu. Ia terlihat masih muda, kira-kira berusia 30 tahun
awal. Aku yang sedang bersantai di ruang tamu pun langsung membuka pintu begitu
mendengar suara bel berbunyi.
“Benar,”
jawabku mengangguk.
“Saya
Detektif Suari Wanagriya dari Kepolisian Denpasar, dan ini adalah rekan saya Detektif
Kerta Winangun.” Sembari memperkenalkan diri beserta rekan prianya, wanita itu
memperlihatkan lencananya di depan mataku.
Deg!
“P-polisi? A-apa
yang mereka lakukan disini?” batinku gelisah. Jantungku serasa mau copot. Tak
ada angin tak ada hujan, kenapa mereka tiba-tiba datang kemari?
M-mustahil!
Jangan-jangan......
“Sebelumnya,
kami punya beberapa pertanyaan penting untuk Anda. Apa kami boleh masuk?”
Deg! Deg!
Deg! Deg!
Nafasku
mulai mengalir tidak karuan seiring detak jantung yang berdebar semakin
kencang. Karena tidak bisa berpikir jernih, aku tidak punya pilihan selain
mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah.
“Jadi, ada
masalah apa?” Setenang mungkin aku berusaha menanyakan maksud kedatangan
mereka. Tak disangka, mereka berbicara langsung ke intinya tanpa basa-basi sedikit
pun.
“Pada hari Kamis
sekitar pukul 9 malam, ditemukan kerangka tubuh manusia di basement parkir
Hotel Setralayon di daerah Sanur,” terang Detektif Wanagriya.
“Menurut
keterangan para saksi, kerangka itu berada di antara reruntuhan tembok utara
basement, yang roboh akibat gempa sejam sebelumnya. Kemungkinan besar kerangka
itu tersembunyi di dalam tembok beton, sehingga luput dari perhatian pihak manajemen
maupun petugas keamanan”
“Setelah uji
forensik dilakukan, kami berhasil mengungkap identitasnya. Korban adalah Darma
Sukawasa, seorang bankir di Departemen Keuangan Asia-Pasifik Rothberg-Blutigold
Bank”
“Berdasarkan
catatan yang kami miliki di database kepolisian, Anda merupakan direktur
departemen keuangan bank tersebut sejak sepuluh tahun yang lalu. Apakah Anda kenal
dengan korban, Tuan Dursana?” tanya Detektif Winangun, seraya memperlihatkan pas
foto seorang pria muda yang berambut pendek dengan setelan jas.
Aku terkejut.
Ternyata benar. Mereka sedang menyelidiki perkara itu! Bagaimana bisa? Padahal
aku sudah menyirami tubuh itu dengan cairan khusus sebelum mengecornya diam-diam
di tembok basement, yang saat itu masih dalam pembangunan. Seharusnya tubuh itu
hancur tak bersisa dalam waktu hitungan bulan, bukannya malah tersimpan di
dalam sana hingga bertahun-tahun!
“I-iya. Dia
adalah salah satu anak buah saya.” Dengan enggan aku pun membenarkan.
“Bisakah
Anda ceritakan lebih lanjut mengenai Pak Sukawasa? Mungkin tentang aktivitas
keseharian atau kepribadiannya,” pinta Detektif Winangun.
Sekujur
tubuhku mendadak gemetaran. Merepotkan sekali permintaan mereka itu. Aku
melipat bibir sejenak sembari melirik wajah penasaran mereka. Sial. Aku tidak
bisa mengelak lagi. Lebih baik kujawab seadanya saja.
“Soal itu, saya
tidak tahu banyak. Sebab ia sendiri sudah mengundurkan diri lima tahun lalu,
dan saya belum pernah melihatnya lagi sejak itu,” kataku diplomatis.
“Namun
selama bekerja dengannya, saya mengenal Sukawasa sebagai bankir yang sangat
kompeten. Ia selalu menyelesaikan tugas dengan serius dan jujur. Tak heran ia
begitu disukai dan dihormati oleh atasan maupun bawahan, juga nasabah yang ia
layani”
“Saya tak menyangka Sukawasa akan bernasib
malang seperti ini. Andai saja saya bisa menemuinya untuk terakhir kali. Sayang
sekali.....”
Sambil
menghela nafas berat, aku berpura-pura memasang muka sedih dan menggelengkan
kepala. Kupikir dengan cara itu, mereka bakal merasa tak ada gunanya untuk
mengorek keterangan dariku, lalu memutuskan pergi begitu saja. Rupanya aku
salah.
“Berarti, Anda
tidak pernah bertemu lagi dengan Pak Sukawasa sampai hari ini?” tanya Detektif
Wanagriya.
“Benar”
Kedua polisi
itu saling bertatapan. Entah kenapa raut wajah mereka justru tampak lebih sumringah
dari sebelumnya.
“Wah,
kebetulan sekali. Menurut hasil otopsi, Pak Sukawasa diperkirakan tewas sejak
lima tahun yang lalu. Tak hanya itu, kami juga menemukan retakan dan
tanda-tanda kekerasan di tengkorak kepala korban. Karena itulah kasus ini sudah
dinaikkan statusnya menjadi pidana pembunuhan,” ujar si penyelidik wanita.
“Kalau boleh
tahu, kira-kira pada tanggal berapa ia mengundurkan diri? Atau mungkin Anda
masih menyimpan surat pengunduran dirinya? Siapa tahu kami bisa menemukan
sesuatu.....”
Hah? Mereka
juga bisa menebak kapan dan bagaimana si brengsek itu mati? Jangan bercanda!
Aku sudah merancang semuanya secara matang dan penuh hati-hati. Seharusnya
semua yang telah kulakukan sempurna. A Perfect Crime! Kurang ajar sekali
orang-orang rendahan ini menyepelekan segala usahaku. Sombong sekali mereka
kalau berpikir bisa semudah itu menjatuhkanku.
Sialan!
Kenapa malah jadi begini? Apa pun yang kulakukan seakan-akan terus berbalik menyerang
diriku.
“Sayangnya,
saya belum pernah melihat surat itu lagi. Sudah lama sekali Sukawasa mengundurkan
diri. Jadi saya tidak mungkin menyimpan suratnya berlama-lama, apalagi
mengingat waktu dan tanggal dia berhenti dari perusahaan,” jelasku, mencoba meyakinkan
mereka bahwa surat itu sudah lama hilang.
“Ah, benar
juga ya. Hahaha”
Selang beberapa menit kami pun saling beramah-tamah.
Sesekali Detektif Wanagriya bertanya-tanya mengenai rasanya bekerja di bank dan
hal-hal remeh lainnya. Sepertinya mereka berusaha membuat suasana menjadi lebih
rileks, karena membicarakan kasus pembunuhan terus-menerus pasti membuat siapa
pun tidak nyaman. Namun aku tak bisa tenang sama sekali. Otakku sibuk
memikirkan apa yang harus kulakukan untuk menyingkirkan bukti-bukti yang
tersisa dan mencegah polisi menemukan kebenaran.
Tak ada jalan lain. Aku harus turun tangan
langsung!
******
Keesokan
harinya, aku bergegas menuju kantorku di bilangan Renon. Namun aku tidak
langsung pergi ke ruanganku, melainkan ruang penyimpanan arsip. Aku ingat masih
ada dokumen-dokumen terkait Sukawasa yang tersimpan disana. Sebenarnya aku
ingin menyingkirkannya sejak dulu. Cuma karena ada berbagai prosedur yang harus
dilewati, aku tidak bisa melakukannya begitu saja.
Sekarang aku
tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harus segera menghancurkan semua
dokumen itu. Masa bodoh dengan peraturan. Paling kalau ketahuan melanggar cuma
kena sanksi administratif saja. Itu jauh lebih baik dibandingkan membusuk di
balik jeruji besi seumur hidup.
Berbekal
kunci yang kuperoleh dari seorang staf, aku melangkah masuk ke ruang arsip. Kutelusuri
setiap lemari dan rak yang jumlahnya tak terhitung. Kubuka satu persatu dokumen
dari lima tahun lalu yang tersimpan rapi di dalam kotak terkunci. Pencarian
selama berjam-jam itu akhirnya membuahkan hasil. Aku menemukan map dokumen warna
hitam yang kuinginkan.
Akan tetapi, meski sampulnya tetap sama, isi map
dokumen itu sudah banyak yang hilang. Parahnya, bagian-bagian hilang tersebut
justru yang paling penting, sehingga bahaya sekali jika polisi mampu
menemukannya lebih dulu. Aku yang kelimpungan lantas bertanya kepada salah
satu petugas disana.
“Mohon maaf
pak. Saya kebetulan baru bertugas disini kurang lebih selama dua tahun. Jadi
saya tidak tahu banyak mengenai dokumen yang disimpan sejak lima tahun lalu,
termasuk apa saja isi di dalamnya,” jelas si petugas.
Aku hampir
saja dilanda rasa kecewa sebelum pria itu melanjutkan kata-katanya. “Tapi
manajer pernah bilang bahwa perusahaan juga menyimpan beberapa dokumen serta
data-data di tempat penyimpanan khusus. Bisa jadi apa yang tuan cari berada
disana”
“Benarkah?!”
seruku gembira. “Bisa kau tunjukkan dimana letak tempat itu?”
“Untuk
lokasinya sendiri tidak berada di kantor ini, tuan. Bagaimana jika saya
tuliskan saja alamatnya agar lebih mudah saat mencarinya?” Ia menawarkan.
Aku mengangguk. Tentu saja aku tidak
keberatan.
*****
Mengendarai mobil sendirian, aku meluncur ke
lokasi sesuai alamat yang tertulis. Rupanya tempat yang dimaksud adalah gudang
penyimpanan di Pelabuhan Benoa. Disana banyak dokumen yang “tidak terpakai”
(sangat rahasia) disimpan di dalam belasan peti kemas berukuran besar. Sebagai
salah satu petinggi Rothberg-Blutigold, aku pernah mendengar bahwa manajemen
bank memiliki penyimpanan di luar kantor. Namun aku tidak mengira mereka menggunakan
peti kemas di pelabuhan.
“Coba kita
lihat. Blok F-20.......Blok F-20.” Sembari berjalan menyusuri lorong, aku
mencari tempat penyimpanan itu. Setiap peti kemas diberikan nomor blok
masing-masing, yang tentu memudahkan kita saat melacaknya. Dan benar saja.
Tidak butuh waktu lama, aku berhasil menemukan peti kemas nomor F-20. Lokasinya
agak jauh ke dalam gudang, sehingga aku butuh cahaya senter untuk membantu
penglihatan.
Srak!
Srak! Srak!
Aku
menurunkan kotak besi yang ditempeli stiker bertuliskan angka 2019, yang
menandakan isinya adalah file dari lima tahun lalu. Kulepas kunci gembok yang
terpasang, lalu kubuka penutupnya. Di dalamnya terdapat map dokumen warna
coklat muda yang disusun secara bertumpuk. Bagian sampulnya dibubuhi oleh stempel
Confidential (rahasia), yang biasa digunakan untuk dokumen sangat
penting. Itulah kenapa aku merasa yakin apa yang kucari berada disini.
“Ketemu!” teriakku
setelah menemukan dokumen tersebut. Begitu berada dalam genggamanku, aku pun
buru-buru membukanya. Kuperiksa setiap lembaran di dalamnya agar tidak ada yang
terlewatkan. Tenyata isinya komplit. Data-data pinjaman, bukti setoran,
kwitansi, hingga formulir bertuliskan “Mangunalit Construction”, semuanya
lengkap tanpa kurang satu bagian pun.
“Syukurlah....,”
gumamku seraya mengusap peluh di wajah. Seumur hidup baru kali ini aku merasa
sangat lega. Seolah-olah beban hidup yang selama ini kupikul di pundakku sirna
begitu saja.
Sekarang,
yang perlu aku lakukan adalah memusnahkan seluruh bukti-bukti ini. Kubawa map dokumen
tersebut diam-diam ke suatu tempat di areal pelabuhan yang tampaknya jarang
dilalui orang. Kemudian, aku mengeluarkan korek gas dari saku celana dan langsung
menyulut api. Dalam hitungan menit, semua lembaran dalam map itu terbakar sepenuhnya.
Menyisakan abu dan serpihan kertas yang seketika kubuang ke laut untuk
menghilangkan jejak.
Beres sudah. Dengan
begini, polisi tidak akan mungkin mendapatkan bukti untuk menyeretku ke
penjara.
Setidaknya
itulah yang kupikirkan pada awalnya.
*****
“Malartha Dursana, Anda ditangkap atas tuduhan
pembunuhan terhadap Darma Sukawasa.”
Aku sedang
mengikuti rapat dengan presiden bank dan para petinggi lain di ruang konferensi.
Tiba-tiba, sejumlah polisi membuka pintu lalu melangkah masuk ke dalam ruangan.
Detektif Wanagriya dan Detektif Winangun termasuk di antaranya. Keduanya
langsung menghampiriku dan menunjukkan surat penangkapan yang diterbitkan oleh
pengadilan dan kepolisian.
Sontak aku
menatap kertas itu dengan mata terbelalak saking tak percaya.
Salah seorang
petugas berusaha menarik tubuhku dan memasang borgol di pergelangan tanganku.
Namun secara refleks aku menepisnya dan buru-buru menghindar.
“Lepaskan!” jeritku
penuh kemarahan.
“Apa-apaan
ini? Lancang sekali kalian tiba-tiba ingin menangkapku! Apa maksud kalian aku
yang membunuh Sukawasa, hah?! Kalian pikir aku akan melakukan hal sekeji itu
kepada rekan kerjaku sendiri? Kurang ajar. Dasar orang-orang brengsek!”
Dibutakan oleh emosi yang memuncak, aku terus
mencaci maki mereka dengan tatapan tajam. “Memangnya kalian punya bukti akulah
yang membunuh Sukawasa?! Jangan asal tuduh sembarangan! Habis ini aku pasti
akan menuntut kalian semua atas tuduhan palsu!”
Ucapanku yang keras disertai bentakan sempat
membuat para polisi itu mundur sejenak. Mereka tampak bingung saat berhadapan
dengan situasi semacam ini. Mungkin mereka tak terbiasa menghadapi tersangka
yang terus memberi perlawanan di ruangan yang dipenuhi oleh bankir kelas atas
dan elit dunia bisnis. Lain halnya dengan Detektif Wanagriya, yang malah sama sekali
tidak bergeming.
“Bukti?
Tentu saja kami punya.” Seakan tidak gentar oleh ancamanku, si penyidik wanita mengambil
file yang disimpan di dalam tasnya dengan tenang. Ia mengeluarkan selembar kertas dan menunjukkannya kepada
semua orang yang ada di ruangan.
Saat itu aku
benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi. Kertas yang digenggam Detektif
Wanagriya sama persis dengan salah satu isi dokumen yang telah kubakar di
pelabuhan!
“D-dari mana
kau dapatkan kertas itu?!” Tanpa sadar aku keceplosan melontarkan perkataan
yang seketika menggugurkan alibiku. Aku berusaha menutup mulutku dengan kedua
tangan, namun semuanya sudah terlambat.
“Kami memperoleh
lembar data ini langsung dari database komputer milik Rothberg-Blutigold.”
jawab Detektif Wanagriya menerangkan.
“Bank ini memang
punya sistem pengarsipan yang bagus. Mereka rutin melakukan scan data-data dan
dokumen yang mereka miliki, lalu menyimpannya di server pusat dalam format
digital. Sehingga siapa pun yang memiliki akses dapat melihatnya dari mana saja
secara online”
Aku
tercengang dan nyaris saja menepuk jidat. Astaga. Bisa-bisanya aku lupa soal
arsip dokumen digital! Padahal sebagai direktur keuangan aku juga mendapat
akses untuk menghapus dokumen yang tak lagi dibutuhkan. Kenapa aku sama sekali tidak
memanfaatkannya? Urgh.....
“Sejak awal,
kami sudah curiga bahwa kasus pembunuhan ini pasti ada kaitannya dengan urusan internal
bank ini. Terlebih, hotel tempat jenazah korban ditemukan merupakan salah satu
anak usaha Rothberg-Blutigold, yang diresmikan sekitar empat tahun lalu. Artinya, ketika Pak Sukawasa
dibunuh, Hotel Setralayon masih dalam pembangunan. Itulah alasan mengapa
tubuhnya bisa dikubur di balik tembok basement parkir”
“Masalahnya,” lanjut Detektif Winangun. “.....sangatlah
tidak mungkin untuk menyembunyikan tubuh korban dengan cara seperti itu tanpa
sepengetahuan kontraktor atau pekerja proyek. Makanya kami pun mendatangi Mangunalit
Construction, perusahaan konstruksi yang menangani pembangunan hotel itu”
“Hanya
saja, pihak Mangunalit tidak bisa memberikan banyak informasi, karena proyek
Hotel Setralayon dikerjakan sebelum perusahaan itu merger dengan konsorsium asing.
Hampir semua manajer dan pekerja yang terlibat di dalamnya mundur atau pindah
ke perusahaan lain setelah pergantian manajemen”
“Namun,
fakta soal merger itu pula yang akhirnya menjadi kunci pemecahan kasus ini,” tambah
Detektif Wanagriya.
Aku menyimak penjabaran kedua penyidik itu
dengan wajah tegang, sedangkan tubuh ini terus gemetaran dari kepala sampai
ujung kaki. Semua yang mereka katakan benar-benar tepat sasaran! Padahal mereka
baru menangani kasus ini selama dua minggu. Oh, tidak. Kalau begini terus, segala
usahaku untuk menutupi masalah ini akan terbuang sia-sia!
Akan tetapi, aku pun sadar tidak bisa berbuat
apa-apa. Mustahil bagiku untuk membungkam mereka ketika para polisi sudah mengepung
ruangan ini. Yang bisa kulakukan adalah berharap hasil investigasi mereka salah,
dan aku punya celah untuk menyangkal segala tuduhan.
“Coba perhatikan
data ini.” Si penyidik wanita menunjuk kertas yang ia pegang.
“Pada awal
tahun 2017, Mangunalit mengalami kerugian besar setelah gagal menyelesaikan
proyek resort dan infrastruktur di Karibia dan Seychelles. Mereka terjerat
utang hingga triliunan rupiah dan terancam mengalami gagal bayar”
“Biasanya,
perusahaan yang nyaris bangkrut tidak akan mendapatkan pinjaman tambahan dari
bank. Sebab, risiko utang tersebut tidak kembali sangat besar. Namun pada
Oktober 2017 atau 10 bulan kemudian, Mangunalit justru memperoleh kucuran dana
sebesar 5 triliun rupiah. Aneh sekali bukan?”
Detektif
Winangun mengambil dua lembaran lain dari map, lalu menyandingkannya di hadapan
para hadirin. “Di tangan kiri saya adalah laporan keuangan Mangunalit yang kami
temukan di gudang penyimpanan mereka. Pada tahun 2017, mereka tercatat rugi
sebesar 3,5 triliun rupiah. Namun dalam proposal pinjaman yang diajukan, mereka
malah disebut untung sebesar 1 triliun rupiah”
“Dengan kata
lain, ada orang dalam di bank ini yang memanipulasi data keuangan Mangunalit
sedemikian rupa hingga dianggap layak dapat pinjaman. Dan orang yang
menandatangani proposal ini adalah mendiang Darma Sukawasa”
Para petinggi
saling berpandangan dengan wajah tak percaya. Mereka jelas sangat terkejut dan
tak menyangka ada kecurangan sebesar ini di tubuh bank mereka.
“Berarti,
Sukawasa yang memanipulasi proposal keuangan Mangunalit?” tanya seorang anggota
direksi karena penasaran.
“Sekilas
memang terlihat seperti itu. Namun kami menemukan fakta-fakta lain yang
menunjukkan sebaliknya,” terang Detektif Wanagriya. “Pada bagian kiri bawah
kertas proposal ini terdapat sebuah kode kecil. Ia berfungsi untuk mengidentifikasi
siapa pembuat dokumen tersebut. Setelah ditelusuri, kami menemukan penyusun
proposal ini adalah akun bernomor 951007225, atas nama Malartha Dursana”
“Tuan
Dursana, orang yang memanipulasi proposal pinjaman Mangunalit adalah Anda”
Seisi ruangan
pun kian gempar. Seorang direktur keuangan yang sangat dihormati dan dikenal
punya reputasi mentereng rupanya melakukan pelanggaran berat sekaligus
mencederai kode etik sebagai bankir. Aku hanya bisa tertunduk karena tidak
tahan menyaksikan kekecewaan mereka.
“Tunggu
sebentar. Ada satu hal yang tidak aku pahami. Mengapa Dursana berbuat sejauh
itu untuk memberi Mangunalit pinjaman?” tanya anggota direksi yang lain.
“Memang betul
mereka adalah salah satu klien kami yang paling penting. Tapi jika Mangunalit pailit
sejak awal, kami tetap bisa menarik balik pinjaman dengan menjual perusahaan itu
kepada pihak lain. Itulah yang kami lakukan tahun 2019, ketika mereka resmi
dinyatakan bangkrut”
Menanggapi
pertanyaan itu, Detektif Wanagriya pun memperlihatkan satu kertas lain, yang
kali ini berwarna biru plus dilengkapi tabel.
“Beberapa
hari lalu, kami memperoleh daftar pemegang saham Mangunalit selama periode 2010
hingga 2019. Setelah diperiksa, ditemukan satu pemilik misterius bernama Ferluci
Investment. Perusahaan ini terdaftar di Kepulauan Virgin Inggris dan tidak
jelas aktivitas apa yang mereka lakukan selama ini. Sehingga kami mencurigainya
sebagai perusahaan cangkang yang didirikan untuk pencucian uang,” tegasnya.
“Kami pun
menyelidiki aliran dana perusahaan ini, yang ternyata mengarah kepada rekening rahasia
Tuan Dursana di salah satu bank Swiss. Secara tidak langsung, ia menggunakan
Ferluci Investment untuk menguasai lima persen kepemilikan saham di Mangunalit.
Tindakan ini jelas pelanggaran hukum berat, yang melarang bankir untuk melakukan
pencucian uang.”
“Saat Mangunalit
terancam bangkrut, Tuan Dursana ikut kena getahnya. Nilai saham yang ia miliki
bakal terjun bebas, dan ia akan kehilangan seluruh uangnya.” Detektif Winangun kembali
menambahkan.
“Maka dari
itu, Tuan Dursana berusaha menyelamatkan Mangunalit dengan segala cara. Ia menekan
Pak Sukawasa, yang merupakan anak buahnya, untuk mengajukan proposal baru untuk
Mangunalit. Berkat pinjaman tersebut, perusahaan konstruksi itu bisa selamat
dari kehancuran untuk sementara waktu”
“Pada tahun
2019, Mangunalit tidak bisa lagi bertahan dan akhirnya dinyatakan bangkrut. Meski
begitu, Tuan Dursana tidak mengalami kerugian sedikit pun. Karena setelah
mendapat pinjaman, keuangan Mangunalit sempat membaik. Harga saham mereka juga
kembali stabil, bahkan mengalami tren kenaikan selama beberapa bulan”
“Saat itu
juga, Tuan Dursana mengambil kesempatan dengan menjual seluruh saham yang ia punya,
dan berhasil meraih keuntungan hingga ratusan miliar. Semua telah diprediksi
olehnya”
“Sayangnya, Pak
Sukawasa tidak seberuntung itu. Sebagai orang yang menandatangani proposal
pinjaman, ia dianggap tak kompeten. Karir
yang susah payah ia bangun pun tercoreng. Ia terancam dimutasi ke kantor cabang
di daerah pelosok dan tak mungkin lagi dapat posisi tinggi,” kata Detektif
Wanagriya.
“Jika dilihat
dari bukti yang ada, kami menduga Pak Sukawasa marah karena merasa dikorbankan
oleh atasannya. Ia pun mengancam akan membeberkan semua dosa-dosa yang
dilakukan. Motif itulah yang mendorong Tuan Dursana untuk menghabisi nyawa Pak
Sukawasa. Kemudian, menyamarkan pembunuhan ini dengan surat pengunduran diri
palsu atas nama korban dan mengecoh semua orang”
Penyidik
wanita itu mengakhiri penjelasannya dengan menatap diriku yang pucat dan bercucuran
keringat. Habislah sudah! Orang-orang ini telah berhasil mengungkap semuanya sampai
ke akarnya. Sebentar lagi aku pasti akan dijebloskan ke penjara tanpa pernah
bisa keluar lagi.
“Ya ampun. Apa yang sudah kulakukan? Kenapa
aku malah berubah jadi pecundang begini?” Tak henti-hentinya aku membatin penuh
penyesalan. Namun waktu takkan mungkin terulang lagi. Nasi telah menjadi bubur.
“Bagaimana,
Tuan Dursana? Apakah Anda mengakui kejahatan yang Anda lakukan?” Detektif
Wanagriya berusaha membujukku untuk menyerahkan diri.
“Kejahatan?
Apa maksudmu, dasar bodoh.” Kalut sekaligus putus asa, tanpa sadar aku justru gelap
mata mengumpat polisi itu.
“Kalian masih
tidak paham juga kah? Mangunalit adalah perusahaan kelas dunia kebanggaan negara
ini. Membantu mereka sama saja dengan melindungi kehormatan bangsa!” teriakku
sekuat tenaga.
“Memang benar
aku punya saham di perusahaan itu. Tapi semua itu kulakukan untuk mendukung
mereka semakin maju. Tidak ada satupun orang di negara ini yang berkorban
sejauh itu selain aku!”
Brakkk! Kugebrak
meja dengan emosional hingga semua orang terperanjat. Mereka mungkin berpikir
aku sudah gila. Ya, aku memang tidak waras. Aku tidak peduli lagi dengan etika,
kehormatan, atau rasa malu, asalkan aku bisa lampiaskan amarahku.
“Sukawasa.....si bedebah itu! Dia benar-benar naif. Ia pikir ancaman
murahan begitu bisa menjatuhkanku. Padahal sekali saja kupukul kepalanya dengan
tongkat besi, ia langsung rebah tanpa bisa bangun lagi!”
“Betapa
idiotnya dia bilang aku harus mengakui semuanya dan mundur demi kebaikan bank
ini. Hahaha! Memangnya dia tahu apa soal bank ini? Dasar tol—”
“Sudah cukup!”
Kegilaanku
berakhir setelah presiden bangkit dari kursinya dengan nada tinggi. Wajahnya terlihat
merah padam. Dengan murka ia mendatangiku dan...
Plakk!
Ia menampar wajahku begitu keras hingga diriku
tersungkur ke lantai. Baru kali ini aku melihatnya seperti itu. Biasanya
presiden adalah sosok yang tenang dan ramah kepada siapa saja. Saat itu barulah
kusadari bahwa tak ada lagi pintu maaf bagi perbuatanku. Riwayatku sudah tamat.
“Bertanggung
jawablah atas segala kejahatanmu.” Ia menepuk pundakku, lalu pergi bersama
sekretarisnya. Meninggalkan diriku yang hanya bisa terduduk lemas tak berdaya
dengan tatapan kosong.
*****
Matahari
sebentar lagi akan terbenam di ufuk barat. Aku menatap langit senja yang perlahan
kian gelap dari balik ventilasi sel penjaraku yang sempit. Sudah lima hari
lebih aku tinggal di ruangan kecil ini. Tidak ada lagi rumah megah, mobil
mewah, dan hidangan mahal buatan chef ternama. Yang kumiliki saat ini hanya setumpuk
baju tahanan dan makanan dingin untuk para narapidana.
Hingga kini rasanya berat untuk menerima nasibku
yang berakhir sebagai sampah masyarakat. Namun suka tidak suka, aku harus mendapat
ganjaran atas apa yang telah kuperbuat.
“Hei, apa
kau sudah dengar?” Sayup-sayup kudengar suara para sipir penjara. Mereka memang
senang mengobrol sembari berpatroli rutin tiap sore.
“Detektif
Wanagriya dan Detektif Winangun berhasil memecahkan kasus pembunuhan bankir
Rothberg-Blutigold lima tahun yang lalu dan membongkar skandal salah satu
petinggi mereka.”
“Hah? Kau
serius?” Rekannya tampak tidak percaya.
“Aku tidak
bohong. Aku mendengarnya langsung dari komandan,” bela sang sipir.
“Dua orang
itu benar-benar luar biasa. Padahal awalnya mereka cuma polisi lulusan SMA yang jadi penyidik setelah dapat
pelatihan reserse selama enam bulan. Tapi kualitas mereka gak kalah dengan para
detektif elit!”
“Itu tandanya
kemampuan gak selalu memandang latar pendidikan”
“Hahaha. Kau
benar”
Perlahan
suara gelak tawa para sipir itu kian menjauh lalu menghilang. Namun isi perkataan
mereka terus terngiang di kepala hingga membuatku jatuh terduduk.
Aku, seorang bankir cerdas lulusan
universitas terbaik di dunia, telah dikalahkan oleh polisi tamatan SMA.....