Kupikir Aku Pintar - Byradian - Radian Wedagama
Terbaru
Loading...

Selasa, 04 Maret 2025

Kupikir Aku Pintar

    

  


    Selama ini, aku selalu menganggap diriku pintar. Bagaimana tidak, aku telah melalui perjalanan hidup yang begitu gemilang hingga tak bisa ditandingi oleh siapapun. 

    Ketika duduk di bangku sekolah, aku selalu mendapatkan penghargaan sebagai siswa terbaik dengan prestasi yang tak terhitung jumlahnya. Baik dalam akademik, olahraga, bahkan kesenian sekalipun semuanya berhasil kutaklukkan. 

   Beranjak ke perguruan tinggi, lagi-lagi aku menjadi mahasiswa paling berprestasi dalam sejarah universitas setelah menjuarai puluhan kompetisi tingkat nasional dan internasional hanya dalam waktu tiga tahun. Padahal aku berkuliah di universitas terbaik di dunia. Sarangnya orang-orang hebat dari seluruh penjuru bumi. 

   Tak heran, kemana pun aku pergi diriku selalu menjadi bintang. Gadis-gadis cantik mengantri silih berganti hanya untuk berbicara atau sekedar menyentuh tanganku. Sementara teman-teman pria bersedia menjadi kaki tangan yang menuruti segala kemauanku. Bagi mereka dengan kapasitas otak terbatas, aku adalah sang raja.

   Hahahaha. Aku tahu pasti kalian tak percaya apa yang kukatakan. Atau mungkin, kalian menduga bahwa semua kata-kataku adalah omong kosong. Well, jika kalian mau bukti, tengoklah ratusan piala dan piagam yang berjajar rapi di dalam lemari kaca, juga foto-foto bersama pengusaha sukses, menteri-menteri, hingga presiden yang terpajang di dinding perpustakaan pribadiku. Semua itu adalah simbol kejayaan yang telah mengantarku hingga berada di posisi saat ini.

   Namun, rasa bangga beserta harga diriku tiba-tiba hancur lebur dalam sekejap mata, dan aku tak pernah menyangka hal ini bakal terjadi.  

    “Selamat siang. Apakah Anda Tuan Dursana?”

  Seorang wanita berbusana blazer coklat muda, kemeja putih, dan celana panjang kantoran menyambangi rumahku pada hari Minggu. Ia terlihat masih muda, kira-kira berusia 30 tahun awal. Aku yang sedang bersantai di ruang tamu pun langsung membuka pintu begitu mendengar suara bel berbunyi.

    “Benar,” jawabku mengangguk.

    “Saya Detektif Suari Wanagriya dari Kepolisian Denpasar, dan ini adalah rekan saya Detektif Kerta Winangun.” Sembari memperkenalkan diri beserta rekan prianya, wanita itu memperlihatkan lencananya di depan mataku.

     Deg!

    “P-polisi? A-apa yang mereka lakukan disini?” batinku gelisah. Jantungku serasa mau copot. Tak ada angin tak ada hujan, kenapa mereka tiba-tiba datang kemari?

     M-mustahil! Jangan-jangan......

    “Sebelumnya, kami punya beberapa pertanyaan penting untuk Anda. Apa kami boleh masuk?”

    Deg! Deg! Deg! Deg!

    Nafasku mulai mengalir tidak karuan seiring detak jantung yang berdebar semakin kencang. Karena tidak bisa berpikir jernih, aku tidak punya pilihan selain mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah.

   “Jadi, ada masalah apa?” Setenang mungkin aku berusaha menanyakan maksud kedatangan mereka. Tak disangka, mereka berbicara langsung ke intinya tanpa basa-basi sedikit pun.

  “Pada hari Kamis sekitar pukul 9 malam, ditemukan kerangka tubuh manusia di basement parkir Hotel Setralayon di daerah Sanur,” terang Detektif Wanagriya.

  “Menurut keterangan para saksi, kerangka itu berada di antara reruntuhan tembok utara basement, yang roboh akibat gempa sejam sebelumnya. Kemungkinan besar kerangka itu tersembunyi di dalam tembok beton, sehingga luput dari perhatian pihak manajemen maupun petugas keamanan”

  “Setelah uji forensik dilakukan, kami berhasil mengungkap identitasnya. Korban adalah Darma Sukawasa, seorang bankir di Departemen Keuangan Asia-Pasifik Rothberg-Blutigold Bank”

  “Berdasarkan catatan yang kami miliki di database kepolisian, Anda merupakan direktur departemen keuangan bank tersebut sejak sepuluh tahun yang lalu. Apakah Anda kenal dengan korban, Tuan Dursana?” tanya Detektif Winangun, seraya memperlihatkan pas foto seorang pria muda yang berambut pendek dengan setelan jas.

    Aku terkejut. Ternyata benar. Mereka sedang menyelidiki perkara itu! Bagaimana bisa? Padahal aku sudah menyirami tubuh itu dengan cairan khusus sebelum mengecornya diam-diam di tembok basement, yang saat itu masih dalam pembangunan. Seharusnya tubuh itu hancur tak bersisa dalam waktu hitungan bulan, bukannya malah tersimpan di dalam sana hingga bertahun-tahun!

    “I-iya. Dia adalah salah satu anak buah saya.” Dengan enggan aku pun membenarkan.

    “Bisakah Anda ceritakan lebih lanjut mengenai Pak Sukawasa? Mungkin tentang aktivitas keseharian atau kepribadiannya,” pinta Detektif Winangun.

   Sekujur tubuhku mendadak gemetaran. Merepotkan sekali permintaan mereka itu. Aku melipat bibir sejenak sembari melirik wajah penasaran mereka. Sial. Aku tidak bisa mengelak lagi. Lebih baik kujawab seadanya saja.

   “Soal itu, saya tidak tahu banyak. Sebab ia sendiri sudah mengundurkan diri lima tahun lalu, dan saya belum pernah melihatnya lagi sejak itu,”  kataku diplomatis.

  “Namun selama bekerja dengannya, saya mengenal Sukawasa sebagai bankir yang sangat kompeten. Ia selalu menyelesaikan tugas dengan serius dan jujur. Tak heran ia begitu disukai dan dihormati oleh atasan maupun bawahan, juga nasabah yang ia layani”

  “Saya tak menyangka Sukawasa akan bernasib malang seperti ini. Andai saja saya bisa menemuinya untuk terakhir kali. Sayang sekali.....”

  Sambil menghela nafas berat, aku berpura-pura memasang muka sedih dan menggelengkan kepala. Kupikir dengan cara itu, mereka bakal merasa tak ada gunanya untuk mengorek keterangan dariku, lalu memutuskan pergi begitu saja. Rupanya aku salah.

 “Berarti, Anda tidak pernah bertemu lagi dengan Pak Sukawasa sampai hari ini?” tanya Detektif Wanagriya.

   “Benar”

   Kedua polisi itu saling bertatapan. Entah kenapa raut wajah mereka justru tampak lebih sumringah dari sebelumnya.

   “Wah, kebetulan sekali. Menurut hasil otopsi, Pak Sukawasa diperkirakan tewas sejak lima tahun yang lalu. Tak hanya itu, kami juga menemukan retakan dan tanda-tanda kekerasan di tengkorak kepala korban. Karena itulah kasus ini sudah dinaikkan statusnya menjadi pidana pembunuhan,” ujar si penyelidik wanita.

   “Kalau boleh tahu, kira-kira pada tanggal berapa ia mengundurkan diri? Atau mungkin Anda masih menyimpan surat pengunduran dirinya? Siapa tahu kami bisa menemukan sesuatu.....”

   Hah? Mereka juga bisa menebak kapan dan bagaimana si brengsek itu mati? Jangan bercanda! Aku sudah merancang semuanya secara matang dan penuh hati-hati. Seharusnya semua yang telah kulakukan sempurna. A Perfect Crime! Kurang ajar sekali orang-orang rendahan ini menyepelekan segala usahaku. Sombong sekali mereka kalau berpikir bisa semudah itu menjatuhkanku.

   Sialan! Kenapa malah jadi begini? Apa pun yang kulakukan seakan-akan terus berbalik menyerang diriku.

   “Sayangnya, saya belum pernah melihat surat itu lagi. Sudah lama sekali Sukawasa mengundurkan diri. Jadi saya tidak mungkin menyimpan suratnya berlama-lama, apalagi mengingat waktu dan tanggal dia berhenti dari perusahaan,” jelasku, mencoba meyakinkan mereka bahwa surat itu sudah lama hilang.

    “Ah, benar juga ya. Hahaha”

    Selang beberapa menit kami pun saling beramah-tamah. Sesekali Detektif Wanagriya bertanya-tanya mengenai rasanya bekerja di bank dan hal-hal remeh lainnya. Sepertinya mereka berusaha membuat suasana menjadi lebih rileks, karena membicarakan kasus pembunuhan terus-menerus pasti membuat siapa pun tidak nyaman. Namun aku tak bisa tenang sama sekali. Otakku sibuk memikirkan apa yang harus kulakukan untuk menyingkirkan bukti-bukti yang tersisa dan mencegah polisi menemukan kebenaran.

    Tak ada jalan lain. Aku harus turun tangan langsung!

 

******

  Keesokan harinya, aku bergegas menuju kantorku di bilangan Renon. Namun aku tidak langsung pergi ke ruanganku, melainkan ruang penyimpanan arsip. Aku ingat masih ada dokumen-dokumen terkait Sukawasa yang tersimpan disana. Sebenarnya aku ingin menyingkirkannya sejak dulu. Cuma karena ada berbagai prosedur yang harus dilewati, aku tidak bisa melakukannya begitu saja.

  Sekarang aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harus segera menghancurkan semua dokumen itu. Masa bodoh dengan peraturan. Paling kalau ketahuan melanggar cuma kena sanksi administratif saja. Itu jauh lebih baik dibandingkan membusuk di balik jeruji besi seumur hidup.

 Berbekal kunci yang kuperoleh dari seorang staf, aku melangkah masuk ke ruang arsip. Kutelusuri setiap lemari dan rak yang jumlahnya tak terhitung. Kubuka satu persatu dokumen dari lima tahun lalu yang tersimpan rapi di dalam kotak terkunci. Pencarian selama berjam-jam itu akhirnya membuahkan hasil. Aku menemukan map dokumen warna hitam yang kuinginkan.  

  Akan tetapi, meski sampulnya tetap sama, isi map dokumen itu sudah banyak yang hilang. Parahnya, bagian-bagian hilang tersebut justru yang paling penting, sehingga bahaya sekali jika polisi mampu menemukannya lebih dulu. Aku yang kelimpungan lantas bertanya kepada salah satu petugas disana.

   “Mohon maaf pak. Saya kebetulan baru bertugas disini kurang lebih selama dua tahun. Jadi saya tidak tahu banyak mengenai dokumen yang disimpan sejak lima tahun lalu, termasuk apa saja isi di dalamnya,” jelas si petugas.

   Aku hampir saja dilanda rasa kecewa sebelum pria itu melanjutkan kata-katanya. “Tapi manajer pernah bilang bahwa perusahaan juga menyimpan beberapa dokumen serta data-data di tempat penyimpanan khusus. Bisa jadi apa yang tuan cari berada disana”

   “Benarkah?!” seruku gembira. “Bisa kau tunjukkan dimana letak tempat itu?”

   “Untuk lokasinya sendiri tidak berada di kantor ini, tuan. Bagaimana jika saya tuliskan saja alamatnya agar lebih mudah saat mencarinya?” Ia menawarkan.

    Aku mengangguk. Tentu saja aku tidak keberatan.

 

*****

   Mengendarai mobil sendirian, aku meluncur ke lokasi sesuai alamat yang tertulis. Rupanya tempat yang dimaksud adalah gudang penyimpanan di Pelabuhan Benoa. Disana banyak dokumen yang “tidak terpakai” (sangat rahasia) disimpan di dalam belasan peti kemas berukuran besar. Sebagai salah satu petinggi Rothberg-Blutigold, aku pernah mendengar bahwa manajemen bank memiliki penyimpanan di luar kantor. Namun aku tidak mengira mereka menggunakan peti kemas di pelabuhan.

   “Coba kita lihat. Blok F-20.......Blok F-20.” Sembari berjalan menyusuri lorong, aku mencari tempat penyimpanan itu. Setiap peti kemas diberikan nomor blok masing-masing, yang tentu memudahkan kita saat melacaknya. Dan benar saja. Tidak butuh waktu lama, aku berhasil menemukan peti kemas nomor F-20. Lokasinya agak jauh ke dalam gudang, sehingga aku butuh cahaya senter untuk membantu penglihatan.

   Srak! Srak! Srak!

   Aku menurunkan kotak besi yang ditempeli stiker bertuliskan angka 2019, yang menandakan isinya adalah file dari lima tahun lalu. Kulepas kunci gembok yang terpasang, lalu kubuka penutupnya. Di dalamnya terdapat map dokumen warna coklat muda yang disusun secara bertumpuk. Bagian sampulnya dibubuhi oleh stempel Confidential (rahasia), yang biasa digunakan untuk dokumen sangat penting. Itulah kenapa aku merasa yakin apa yang kucari berada disini.

  “Ketemu!” teriakku setelah menemukan dokumen tersebut. Begitu berada dalam genggamanku, aku pun buru-buru membukanya. Kuperiksa setiap lembaran di dalamnya agar tidak ada yang terlewatkan. Tenyata isinya komplit. Data-data pinjaman, bukti setoran, kwitansi, hingga formulir bertuliskan “Mangunalit Construction”, semuanya lengkap tanpa kurang satu bagian pun.

  “Syukurlah....,” gumamku seraya mengusap peluh di wajah. Seumur hidup baru kali ini aku merasa sangat lega. Seolah-olah beban hidup yang selama ini kupikul di pundakku sirna begitu saja.

  Sekarang, yang perlu aku lakukan adalah memusnahkan seluruh bukti-bukti ini. Kubawa map dokumen tersebut diam-diam ke suatu tempat di areal pelabuhan yang tampaknya jarang dilalui orang. Kemudian, aku mengeluarkan korek gas dari saku celana dan langsung menyulut api. Dalam hitungan menit, semua lembaran dalam map itu terbakar sepenuhnya. Menyisakan abu dan serpihan kertas yang seketika kubuang ke laut untuk menghilangkan jejak.

  Beres sudah. Dengan begini, polisi tidak akan mungkin mendapatkan bukti untuk menyeretku ke penjara.

  Setidaknya itulah yang kupikirkan pada awalnya.

*****

    “Malartha Dursana, Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap Darma Sukawasa.”

   Aku sedang mengikuti rapat dengan presiden bank dan para petinggi lain di ruang konferensi. Tiba-tiba, sejumlah polisi membuka pintu lalu melangkah masuk ke dalam ruangan. Detektif Wanagriya dan Detektif Winangun termasuk di antaranya. Keduanya langsung menghampiriku dan menunjukkan surat penangkapan yang diterbitkan oleh pengadilan dan kepolisian.  

   Sontak aku menatap kertas itu dengan mata terbelalak saking tak percaya.

 Salah seorang petugas berusaha menarik tubuhku dan memasang borgol di pergelangan tanganku. Namun secara refleks aku menepisnya dan buru-buru menghindar.

   “Lepaskan!” jeritku penuh kemarahan.

   “Apa-apaan ini? Lancang sekali kalian tiba-tiba ingin menangkapku! Apa maksud kalian aku yang membunuh Sukawasa, hah?! Kalian pikir aku akan melakukan hal sekeji itu kepada rekan kerjaku sendiri? Kurang ajar. Dasar orang-orang brengsek!”

    Dibutakan oleh emosi yang memuncak, aku terus mencaci maki mereka dengan tatapan tajam. “Memangnya kalian punya bukti akulah yang membunuh Sukawasa?! Jangan asal tuduh sembarangan! Habis ini aku pasti akan menuntut kalian semua atas tuduhan palsu!”

    Ucapanku yang keras disertai bentakan sempat membuat para polisi itu mundur sejenak. Mereka tampak bingung saat berhadapan dengan situasi semacam ini. Mungkin mereka tak terbiasa menghadapi tersangka yang terus memberi perlawanan di ruangan yang dipenuhi oleh bankir kelas atas dan elit dunia bisnis. Lain halnya dengan Detektif Wanagriya, yang malah sama sekali tidak bergeming.

    “Bukti? Tentu saja kami punya.” Seakan tidak gentar oleh ancamanku, si penyidik wanita mengambil file yang disimpan di dalam tasnya dengan tenang. Ia mengeluarkan  selembar kertas dan menunjukkannya kepada semua orang yang ada di ruangan.

    Saat itu aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi. Kertas yang digenggam Detektif Wanagriya sama persis dengan salah satu isi dokumen yang telah kubakar di pelabuhan!

    “D-dari mana kau dapatkan kertas itu?!” Tanpa sadar aku keceplosan melontarkan perkataan yang seketika menggugurkan alibiku. Aku berusaha menutup mulutku dengan kedua tangan, namun semuanya sudah terlambat.

   “Kami memperoleh lembar data ini langsung dari database komputer milik Rothberg-Blutigold.” jawab Detektif Wanagriya menerangkan.

  “Bank ini memang punya sistem pengarsipan yang bagus. Mereka rutin melakukan scan data-data dan dokumen yang mereka miliki, lalu menyimpannya di server pusat dalam format digital. Sehingga siapa pun yang memiliki akses dapat melihatnya dari mana saja secara online

   Aku tercengang dan nyaris saja menepuk jidat. Astaga. Bisa-bisanya aku lupa soal arsip dokumen digital! Padahal sebagai direktur keuangan aku juga mendapat akses untuk menghapus dokumen yang tak lagi dibutuhkan. Kenapa aku sama sekali tidak memanfaatkannya? Urgh.....

   “Sejak awal, kami sudah curiga bahwa kasus pembunuhan ini pasti ada kaitannya dengan urusan internal bank ini. Terlebih, hotel tempat jenazah korban ditemukan merupakan salah satu anak usaha Rothberg-Blutigold, yang diresmikan sekitar  empat tahun lalu. Artinya, ketika Pak Sukawasa dibunuh, Hotel Setralayon masih dalam pembangunan. Itulah alasan mengapa tubuhnya bisa dikubur di balik tembok basement parkir”

   “Masalahnya,” lanjut Detektif Winangun. “.....sangatlah tidak mungkin untuk menyembunyikan tubuh korban dengan cara seperti itu tanpa sepengetahuan kontraktor atau pekerja proyek. Makanya kami pun mendatangi Mangunalit Construction, perusahaan konstruksi yang menangani pembangunan hotel itu”

  “Hanya saja, pihak Mangunalit tidak bisa memberikan banyak informasi, karena proyek Hotel Setralayon dikerjakan sebelum perusahaan itu merger dengan konsorsium asing. Hampir semua manajer dan pekerja yang terlibat di dalamnya mundur atau pindah ke perusahaan lain setelah pergantian manajemen”

  “Namun, fakta soal merger itu pula yang akhirnya menjadi kunci pemecahan kasus ini,” tambah Detektif Wanagriya.

  Aku menyimak penjabaran kedua penyidik itu dengan wajah tegang, sedangkan tubuh ini terus gemetaran dari kepala sampai ujung kaki. Semua yang mereka katakan benar-benar tepat sasaran! Padahal mereka baru menangani kasus ini selama dua minggu. Oh, tidak. Kalau begini terus, segala usahaku untuk menutupi masalah ini akan terbuang sia-sia!

  Akan tetapi, aku pun sadar tidak bisa berbuat apa-apa. Mustahil bagiku untuk membungkam mereka ketika para polisi sudah mengepung ruangan ini. Yang bisa kulakukan adalah berharap hasil investigasi mereka salah, dan aku punya celah untuk menyangkal segala tuduhan.

  “Coba perhatikan data ini.” Si penyidik wanita menunjuk kertas yang ia pegang.

 “Pada awal tahun 2017, Mangunalit mengalami kerugian besar setelah gagal menyelesaikan proyek resort dan infrastruktur di Karibia dan Seychelles. Mereka terjerat utang hingga triliunan rupiah dan terancam mengalami gagal bayar”

  “Biasanya, perusahaan yang nyaris bangkrut tidak akan mendapatkan pinjaman tambahan dari bank. Sebab, risiko utang tersebut tidak kembali sangat besar. Namun pada Oktober 2017 atau 10 bulan kemudian, Mangunalit justru memperoleh kucuran dana sebesar 5 triliun rupiah. Aneh sekali bukan?”

  Detektif Winangun mengambil dua lembaran lain dari map, lalu menyandingkannya di hadapan para hadirin. “Di tangan kiri saya adalah laporan keuangan Mangunalit yang kami temukan di gudang penyimpanan mereka. Pada tahun 2017, mereka tercatat rugi sebesar 3,5 triliun rupiah. Namun dalam proposal pinjaman yang diajukan, mereka malah disebut untung sebesar 1 triliun rupiah”

 “Dengan kata lain, ada orang dalam di bank ini yang memanipulasi data keuangan Mangunalit sedemikian rupa hingga dianggap layak dapat pinjaman. Dan orang yang menandatangani proposal ini adalah mendiang Darma Sukawasa”

  Para petinggi saling berpandangan dengan wajah tak percaya. Mereka jelas sangat terkejut dan tak menyangka ada kecurangan sebesar ini di tubuh bank mereka.

 “Berarti, Sukawasa yang memanipulasi proposal keuangan Mangunalit?” tanya seorang anggota direksi karena penasaran.

  “Sekilas memang terlihat seperti itu. Namun kami menemukan fakta-fakta lain yang menunjukkan sebaliknya,” terang Detektif Wanagriya. “Pada bagian kiri bawah kertas proposal ini terdapat sebuah kode kecil. Ia berfungsi untuk mengidentifikasi siapa pembuat dokumen tersebut. Setelah ditelusuri, kami menemukan penyusun proposal ini adalah akun bernomor 951007225, atas nama Malartha Dursana”

   “Tuan Dursana, orang yang memanipulasi proposal pinjaman Mangunalit adalah Anda”

  Seisi ruangan pun kian gempar. Seorang direktur keuangan yang sangat dihormati dan dikenal punya reputasi mentereng rupanya melakukan pelanggaran berat sekaligus mencederai kode etik sebagai bankir. Aku hanya bisa tertunduk karena tidak tahan menyaksikan kekecewaan mereka.

  “Tunggu sebentar. Ada satu hal yang tidak aku pahami. Mengapa Dursana berbuat sejauh itu untuk memberi Mangunalit pinjaman?” tanya anggota direksi yang lain.

  “Memang betul mereka adalah salah satu klien kami yang paling penting. Tapi jika Mangunalit pailit sejak awal, kami tetap bisa menarik balik pinjaman dengan menjual perusahaan itu kepada pihak lain. Itulah yang kami lakukan tahun 2019, ketika mereka resmi dinyatakan bangkrut”

  Menanggapi pertanyaan itu, Detektif Wanagriya pun memperlihatkan satu kertas lain, yang kali ini berwarna biru plus dilengkapi tabel.

  “Beberapa hari lalu, kami memperoleh daftar pemegang saham Mangunalit selama periode 2010 hingga 2019. Setelah diperiksa, ditemukan satu pemilik misterius bernama Ferluci Investment. Perusahaan ini terdaftar di Kepulauan Virgin Inggris dan tidak jelas aktivitas apa yang mereka lakukan selama ini. Sehingga kami mencurigainya sebagai perusahaan cangkang yang didirikan untuk pencucian uang,” tegasnya.

  “Kami pun menyelidiki aliran dana perusahaan ini, yang ternyata mengarah kepada rekening rahasia Tuan Dursana di salah satu bank Swiss. Secara tidak langsung, ia menggunakan Ferluci Investment untuk menguasai lima persen kepemilikan saham di Mangunalit. Tindakan ini jelas pelanggaran hukum berat, yang melarang bankir untuk melakukan pencucian uang.”

  “Saat Mangunalit terancam bangkrut, Tuan Dursana ikut kena getahnya. Nilai saham yang ia miliki bakal terjun bebas, dan ia akan kehilangan seluruh uangnya.” Detektif Winangun kembali menambahkan.

  “Maka dari itu, Tuan Dursana berusaha menyelamatkan Mangunalit dengan segala cara. Ia menekan Pak Sukawasa, yang merupakan anak buahnya, untuk mengajukan proposal baru untuk Mangunalit. Berkat pinjaman tersebut, perusahaan konstruksi itu bisa selamat dari kehancuran untuk sementara waktu”

  “Pada tahun 2019, Mangunalit tidak bisa lagi bertahan dan akhirnya dinyatakan bangkrut. Meski begitu, Tuan Dursana tidak mengalami kerugian sedikit pun. Karena setelah mendapat pinjaman, keuangan Mangunalit sempat membaik. Harga saham mereka juga kembali stabil, bahkan mengalami tren kenaikan selama beberapa bulan”

  “Saat itu juga, Tuan Dursana mengambil kesempatan dengan menjual seluruh saham yang ia punya, dan berhasil meraih keuntungan hingga ratusan miliar. Semua telah diprediksi olehnya”

 “Sayangnya, Pak Sukawasa tidak seberuntung itu. Sebagai orang yang menandatangani proposal pinjaman, ia dianggap tak kompeten. Karir yang susah payah ia bangun pun tercoreng. Ia terancam dimutasi ke kantor cabang di daerah pelosok dan tak mungkin lagi dapat posisi tinggi,” kata Detektif Wanagriya.

  “Jika dilihat dari bukti yang ada, kami menduga Pak Sukawasa marah karena merasa dikorbankan oleh atasannya. Ia pun mengancam akan membeberkan semua dosa-dosa yang dilakukan. Motif itulah yang mendorong Tuan Dursana untuk menghabisi nyawa Pak Sukawasa. Kemudian, menyamarkan pembunuhan ini dengan surat pengunduran diri palsu atas nama korban dan mengecoh semua orang”

   Penyidik wanita itu mengakhiri penjelasannya dengan menatap diriku yang pucat dan bercucuran keringat. Habislah sudah! Orang-orang ini telah berhasil mengungkap semuanya sampai ke akarnya. Sebentar lagi aku pasti akan dijebloskan ke penjara tanpa pernah bisa keluar lagi.

   “Ya ampun. Apa yang sudah kulakukan? Kenapa aku malah berubah jadi pecundang begini?” Tak henti-hentinya aku membatin penuh penyesalan. Namun waktu takkan mungkin terulang lagi. Nasi telah menjadi bubur.

   “Bagaimana, Tuan Dursana? Apakah Anda mengakui kejahatan yang Anda lakukan?” Detektif Wanagriya berusaha membujukku untuk menyerahkan diri.

   “Kejahatan? Apa maksudmu, dasar bodoh.” Kalut sekaligus putus asa, tanpa sadar aku justru gelap mata mengumpat polisi itu.

   “Kalian masih tidak paham juga kah? Mangunalit adalah perusahaan kelas dunia kebanggaan negara ini. Membantu mereka sama saja dengan melindungi kehormatan bangsa!” teriakku sekuat tenaga.

   “Memang benar aku punya saham di perusahaan itu. Tapi semua itu kulakukan untuk mendukung mereka semakin maju. Tidak ada satupun orang di negara ini yang berkorban sejauh itu selain aku!”

   Brakkk! Kugebrak meja dengan emosional hingga semua orang terperanjat. Mereka mungkin berpikir aku sudah gila. Ya, aku memang tidak waras. Aku tidak peduli lagi dengan etika, kehormatan, atau rasa malu, asalkan aku bisa lampiaskan amarahku.

 “Sukawasa.....si bedebah itu! Dia benar-benar naif. Ia pikir ancaman murahan begitu bisa menjatuhkanku. Padahal sekali saja kupukul kepalanya dengan tongkat besi, ia langsung rebah tanpa bisa bangun lagi!”

  “Betapa idiotnya dia bilang aku harus mengakui semuanya dan mundur demi kebaikan bank ini. Hahaha! Memangnya dia tahu apa soal bank ini? Dasar tol—”

  “Sudah cukup!”

   Kegilaanku berakhir setelah presiden bangkit dari kursinya dengan nada tinggi. Wajahnya terlihat merah padam. Dengan murka ia mendatangiku dan...

   Plakk!

  Ia menampar wajahku begitu keras hingga diriku tersungkur ke lantai. Baru kali ini aku melihatnya seperti itu. Biasanya presiden adalah sosok yang tenang dan ramah kepada siapa saja. Saat itu barulah kusadari bahwa tak ada lagi pintu maaf bagi perbuatanku. Riwayatku sudah tamat.

 “Bertanggung jawablah atas segala kejahatanmu.” Ia menepuk pundakku, lalu pergi bersama sekretarisnya. Meninggalkan diriku yang hanya bisa terduduk lemas tak berdaya dengan tatapan kosong.

*****

    Matahari sebentar lagi akan terbenam di ufuk barat. Aku menatap langit senja yang perlahan kian gelap dari balik ventilasi sel penjaraku yang sempit. Sudah lima hari lebih aku tinggal di ruangan kecil ini. Tidak ada lagi rumah megah, mobil mewah, dan hidangan mahal buatan chef ternama. Yang kumiliki saat ini hanya setumpuk baju tahanan dan makanan dingin untuk para narapidana.

   Hingga kini rasanya berat untuk menerima nasibku yang berakhir sebagai sampah masyarakat. Namun suka tidak suka, aku harus mendapat ganjaran atas apa yang telah kuperbuat.

  “Hei, apa kau sudah dengar?” Sayup-sayup kudengar suara para sipir penjara. Mereka memang senang mengobrol sembari berpatroli rutin tiap sore.

  “Detektif Wanagriya dan Detektif Winangun berhasil memecahkan kasus pembunuhan bankir Rothberg-Blutigold lima tahun yang lalu dan membongkar skandal salah satu petinggi mereka.”

   “Hah? Kau serius?” Rekannya tampak tidak percaya.

   “Aku tidak bohong. Aku mendengarnya langsung dari komandan,” bela sang sipir.

  “Dua orang itu benar-benar luar biasa. Padahal awalnya mereka cuma polisi  lulusan SMA yang jadi penyidik setelah dapat pelatihan reserse selama enam bulan. Tapi kualitas mereka gak kalah dengan para detektif elit!”

  “Itu tandanya kemampuan gak selalu memandang latar pendidikan”

  “Hahaha. Kau benar”

  Perlahan suara gelak tawa para sipir itu kian menjauh lalu menghilang. Namun isi perkataan mereka terus terngiang di kepala hingga membuatku jatuh terduduk. 

  Aku, seorang bankir cerdas lulusan universitas terbaik di dunia, telah dikalahkan oleh polisi tamatan SMA..... 




Share with your friends

Mau Pergi Kemana? Kok Buru-Buru Banget :)
Yuk Komen Disini Dulu
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done